Mohon tunggu...
Adexfree
Adexfree Mohon Tunggu... Administrasi - Menulis adalah ruang untuk berbagi

Simplicity

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Ketika Single Parent Menjadi Sebuah Pilihan

19 November 2022   16:00 Diperbarui: 19 November 2022   16:28 313
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kehidupan dalam pernikahan tidak selamanya berjalan dengan mulus, kerikil-kerikil tajam seringkali menghadang bahkan terkadang badai pun mampu memporak-porandakan pernikahan yang menutup akhir cerita dengan sebuah perceraian. Di dunia ini tidak ada pasangan yang menginginkan sebuah perceraian, namun ada kalanya pilihan sangat bertentangan dengan kata hati dan memaksakan batin untuk menerimanya.

Proses perceraian bukanlah hal mudah

Menghadapai sebuah perceraian bukanlah hal yang mudah, apalagi kehadiran anak menjadi salah satu bahan pertimbangannya. Jika memang perceraian menjadi solusi finalnya, maka perlu dipikirkan juga oleh pasangan suami istri yang bercerai mengenai efek psikologis yang akan terjadi pada anak. Apalagi saat umur anak masih kecil, dan masih sangat membutuhkan kasih sayang dan perhatian kedua orang tuanya.

Perceraian akan merubah kehidupan anak secara total, yang tadinya dirumah akan selalu melihat kehadiran kedua orang tuanya maka sang anak harus mulai membiasakan diri untuk kehilangan salah satu sosoknya, baik ayah atau pun ibu. Mungkin pasangan yang telah bercerai tidak berpikir panjang mengenai kehidupan yang nantinya akan dijalankan oleh anak mereka, apalagi berubah status menjadi single parent itu tidaklah mudah.

Resiko yang harus siap dihadapi setelah perceraian

Hal utama yang harus dipikirkan adalah masalah biaya hidup, jika wanita yang tidak bekerja menjadi single parent maka harus siap untuk banting tulang mencari nafkah untuk anaknya, karena tidak semua mantan suami bersedia memberikan nafkah bagi anaknya. Berbagai alasan kerap dijadikan tameng untuk bebas dari sebuah tanggung jawab . Beruntung jika bertemu mantan yang siap menafkahi anak meskipun sudah berpisah, contohnya pelawak sule. 

Untuk para pria yang menjadi single parent tanggung jawab menafkahi anak sebenarnya adalah sebuah kewajiban, karena tidak ada istilah mantan anak, yang ada hanyalah mantan istri. Namun ketika sudah menemukan sosok istri yang baru seringkali masalah nafkah anak ini menjadi perdebatan panjang karena harus memenuhi dua kewajiban padahal sumber nafkah hanya satu. Solusinya tergantung dari individu masing-masing, harus bijaksana dan adil terhadap anak maupun pasangan yang baru.

Pada saat perceraian, yang perlu diingat adalah bagaimana mengatasi kondisi psikologis anak. Bagaimana tetap bisa memberikan perhatian dan juga kasih sayang terhadap anak meskipun sudah berpisah karena anak membutuhkan sosok ibu maupun ayah. Perceraian yang berakhir dalam kondisi baik, akan lebih mudah untuk mengatasi masalah ini. Salah satu pasangan bisa meluangkan waktu untuk mengunjungi anak, agar anak tidak merasa kehilangan.

Namun bagaimana jika perceraian berakhir dalam kondisi buruk,  tidak ada komunikasi lagi setelah terjadinya perceraian. Bagi anak yang tinggal bersama ibunya maka sang ibu harus mampu bermain peran menjadi ibu maupun menjadi sosok ayah. Sang ibu akan berganti peran menjadi ayah yang bekerja mencari nafkah dan juga selalu melindungi anak dari hal-hal yang buruk. Padahal kondisi psikologis ibu sendiri tidak baik-baik saja, dia harus mengatasi kondisi psikologisnya dan juga menjaga kondisi psikologis anak. 

Hal ini bukanlah hal yang mudah, namun bagi anda para wanita yang sedang menghadapi perceraian harus siap mental dalam menghadapi kondisi ini.  Jika siap memproses sebuah perceraian , maka harus siap dengan berbagai kondisi negatif yang akan terjadi setelah bercerai. Tapi tak jarang kondisi ini malah membuat seorang wanita yang lemah berubah menjadi superwomen demi anaknya.

Sebaliknya seorang pria single parent yang juga mencintai anaknya, tidak akan mudah melalui hari-harinya tanpa kehadiran sosok dan tawa si kecil yang sudah biasa menghiasi kehidupannya. Itu artinya baik wanita maupun pria yang memutuskan untuk bercerai harus mampu menghadapi perubahan psikologis dalam  kehidupan setelah proses perceraian terjadi. 

Akan lebih baik jika kedua belah pihak menurunkan ego, bercerai dengan damai. Sehingga efek psikologis yang akan terjadi pada anak dapat diminimalisir. Jika memang tak mampu bersama mendayung kapal dalam biduk rumah tangga, menjadi teman / sahabat bisa menjadi pilihan yang tepat demi keberlangsungan kehidupan psikososial anak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun