Mohon tunggu...
Ilmiawan
Ilmiawan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Lagi belajar nulis.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kematian untuk Semua

26 Desember 2022   19:07 Diperbarui: 26 Desember 2022   19:20 152
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Pernahkah saudara berpikir untuk menjalani hidup yang biasa-biasa saja? Suatu kehidupan tanpa menghiraukan elemen-elemen serupa peradaban. Cita-cita, pernikahan, seks, beranak-pinak, kemudian mati. Demikiankah kehidupan yang kita cari-cari? Ataukah ia hanya sebuah kata yang maknanya tak pernah kita temui? Dan tak akan pernah?

Saya sudah melupakan hidup cukup lama, hingga membuat perut saya kembung akan makanan-makanan lezat dan oleh emas-emas yang saya minum sampai saya mabuk. Dengan kata lain menjalani hidup selayaknya binatang, adalah satu-satunya jalan akan kehidupan yang sejati. Membunuh dan membunuh untuk kehidupan yang akan datang.

"Kita sudah terlalu panjang berjalan, tuan!" Kata sosok suara di depan. Suaranya tenggelam oleh kebisuan padang pasir yang gersang nan hampa setelah sekilas masuk ke dalam telinga. Matahari begitu menyengat di permukaan langit yang kosong. Sekosong-kosongnya langit, tak lebih kosong daripada jejak kaki kami yang tertinggal di belakang sana. Saya tak menangkap perkataannya bagai sebuah keputusasaan di dalam ruang dengan tali tambang menggantung di langit-langit. Ia hanya menggumam demikian karena substansi tubuhnya kian menghilang seperti kilauan mata air yang sejatinya fana di mata kami.

Sebuah keputusasaan bila mengingat bahwa Zarathustra akan hidup seribu tahun lamanya dengan ajarannya yang fana sekaligus menyenangkan tentang api itu. Menyelamatkan umat manusia dari kehampaan yang abstrak menuju kehancuran. Tapi kita terlalu gegabah dan lekas ingin pergi dari sana menuju sosok yang bentuknya lebih abstrak dan lebih mematikan. Kita suka akan sesuatu yang abstrak. Suka bermain kata-kata, membolak-balikkan logika hanya untuk sebuah definisi dangkal, yang keseluruhan hasilnya hanya berupa kontradiksi-kontradiksi yang bersifat destruktif untuk argumen awal.

Lantas jika demikian, saya tidak rela kehidupan saya dimaknai oleh gerombolan itu. Sedang jasad saya berkalang tanah tanpa arti, tapi nama saya berulang kali terus diingat sebagai sosok manusia yang pernah hidup. "Pernah hidup" adalah satu frasa yang menakjubkan untuk dimaknai, bahwa seberapa banyak peninggalan pun yang kita tinggalkan, pada akhirnya hanya akan menjadi satu kefanaan untuk wujud yang sudah menderita dan binasa di bawah fajar merah.

Maka dia kembali berkata kepada kita, pria yang berjalan di depan itu: "Kita sudah berjalan terlalu panjang, tuan!"

Lantas kami lekas beristirahat di bawah pohon kurma. Sebagai tuan, saya duduk bersandar pada batang pokok yang berdiri lemah gemulai itu. Dia mengeluarkan sepotong roti yang sisa separuh, perbekalan terakhirnya. Sedang saya sudah tak ada perbekalan apa-apa lagi karena ketamakan saya sepanjang jalan. Bahkan setetes air untuk penghilang dahaga di kerongkongan juga tidak lagi kami punya. Saya menatap pria yang sudah menghamba kepada saya sekian lama ini. Dia membalas tatapan saya dengan muka kusam dan lebam akibat ditinju panas matahari. Lelaki itu memotong rotinya, saya mengambil, dan kami makan berdua.

"Unta yang malang," katanya. "Hamba tak menyangka seekor unta dapat mati di tanah kelahirannya sendiri."

Dia tengah berbicara tentang Arabe, unta Tunisia yang saya beli dengan harga mahal. Untung ada beberapa budak saya yang berguna dan memiliki nilai jual tinggi untuk menyokong Arabe pulang ke tanah kami, ratusan kilometer dari pohon kurma yang saya sandari ini. Bukankah perkataannya itu sedemikian konyolnya hingga saya tak bisa lagi tertawa. Kematian sudah menjadi kecacatan kita sedari dulu. Oleh sebab itu kita menangis semuanya setelah keluar dari lubang kotor ibu. Bayi kecil yang bijaksana itu terus menyenandungkan nyanyian akan kehidupan, hanya saja kita terlalu bodoh untuk memahaminya. Bahwa kematian, kematian, kematian, akan datang suatu hari! Biarkan saya mati!

Tapi semuanya tidak segampang itu. Saya demikian terpedayanya oleh hirarki kebutuhan, saya terus berupaya untuk memenuhi kekurangan-kekurangan, hingga terlupa bahwa pada dasarnya kita semua cacat, dan tak ada titik saya akan menjadi sempurna selepas metamorfosa yang demikian panjangnya. Karena kita akan mati suatu hari.

"Mari kita berdoa, tuan." Kemudian, saat dia hendak melanjutkan curahan tentang Arabe, saya lekas memotong dan memintanya untuk menutup mulut dan cukup menyaksikan matahari yang perlahan semakin miring.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun