Mohon tunggu...
Ilmiawan
Ilmiawan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Lagi belajar nulis.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen: Kunang-kunang di Pekuburan

16 Desember 2022   20:52 Diperbarui: 18 Desember 2022   22:10 507
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi kunang-kunang. (sumber: Shutterstock via kompas.com)

Malam jatuh menggelepar. Langit seperti dibungkus oleh plastik hitam. Pekat, awan yang tersisa dari hari yang cerah juga tidak kelihatan. Bahkan tidak ada, seperti disapu oleh kekelaman. Langit tidak menyisakan sedikitpun harapan akan matahari yang indah untuk besok. 

Sedemikian gelapnya langit malam itu, tapi tidak bagi Barat. Bagi Barat, langit jauh lebih gelap dari ini, karena dia buta. Dia sekarang lagi duduk di kamarnya, di depan meja, membaca buku. 

Barat tidak tahu, bahwa malam itu, sedang ada pemadaman listrik. Di rumah-rumah, orang menyalakan lilin atau senter. Bayangan kamar tetangganya disinari cahaya lilin dapat dilihat dari kamar Barat.

 Tapi Barat tidak tahu, kamarnya dibiarkan gelap, sedemikian gelapnya hingga wajah Barat sendiri tidak kelihatan. Jari-jemarinya terus dengan lentik bergeser sedikit demi sedikit ke kanan untuk menerjemahkan huruf-huruf timbul yang ada di buku itu.

Apa yang sedang dibacanya? Ah, ini tentang sebuah dunia yang indah. Tapi, juga mengerikan. Mengerikan? Iya, karena Barat tidak akan benar-benar bisa menyaksikan dunia yang indah itu dengan matanya karena buta. 

Dunia yang indah itu hanya ada di kepalanya. Sesekali Barat menyunggingkan bibirnya  ke atas. Juga terkekeh, dia menertawakan sebuah dunia yang dia sendiri takkan pernah bisa merasakannya. Sebuah tawa yang ironis. Manis, sekaligus tragis.

Bertahun-tahun Barat menghabiskan waktunya untuk membaca buku. Hanya itu satu-satunya kesenangan yang dia punya. Musik juga sesekali. Dia senang mendengarkan lagu klasik. Mozart, Beethoven, Brahms, Wagner, dan semacamnya, adalah teman yang dia punya. 

Menurutnya ini adil untuk berteman dengan mereka, ketimbang tetangga atau keluarganya sendiri. Karena musisi yang sudah mati itu tak bisa melihat Barat, begitupun dengan Barat yang pada dasarnya buta. 

Jadi, dia suka berbicara dengan mereka seorang diri sambil menghisap rokok di halaman belakang rumahnya. 

Menikmati matahari sore yang hangat, mendengarkan musik sambil membangun angan-angan bahwa dia punya mata di dalam kepalanya untuk melihat matahari dan dunia yang indah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun