Mohon tunggu...
Ilmiawan
Ilmiawan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Lagi belajar nulis.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Gelas Terakhir

26 September 2021   02:12 Diperbarui: 26 September 2021   06:21 114
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lihat sekelilingmu
Apa yang tampak?
Batu berlian?
Atau ludah anarkis yang tak kunjung sudah?
Bangun pecundang keparat! Kau hidup di antara tembok-tembok. Dia mengira hidup sebatas bersujud pada yang kuasa. Sungguh dia tak lihat, anak-anak di jalanan haus susu ibu dan pelukan dari bapak

"Kami ingin bersenang-senang" katanya
"Tapi kami tak punya uang" keluhnya
"Kembalilah pada Tuhan" kata mereka
"Bagaimana bisa kembali sedangkan masalah kami tak berkesudahan?!" Anak-anak itu kesal
Atau bertanya? Aku tak tahu

Satu hal yang membuat mereka marah, "Tuhan menyelesaikan masalah mereka"
Anak-anak itu menggila
Botol-botol kosong dipakainya untuk menggali tanah supaya air bisa muncul untuk kebahagiaan mereka
Sungguh bodoh mereka yang merasa bijak, mengajak orang-orang kembali kepada Tuhan sedang diri mereka sendiri, surga yang jadi dambaan
Apakah itu ketenangan abadi?
Apa mereka merasa tenang?

Mereka tidak mengerti kemanusiaan
Anak-anak yang tersesat di dalam hutan butuh  pembimbing bukan mulut yang mengatakan hal-hal naif seperti itu
Mereka tak mengerti kemanusiaan

Apa itu kemanusiaan?
Menendang batu
Aku terlalu melayang untuk satu tegukan whisky
Tapi terlalu haus untuk tidak menyentuhnya
Aku tercipta daripadanya, tanpanya aku tak bisa berpikir
Tak bisa melihat dunia dari kacamata para optimis munafik yang diam-diam menangis di dalam kamarnya namun terlalu sombong untuk menyerah
Dengan itu aku mengetahui sesuatu
Sesuatu yang tak sebanding dari satu pengetahuan orang yang pandai aljabar di dalam kelas
Aku pintar
Tapi orang-orang tak bisa melihatnya
Karena mereka terlalu tolol untuk mengetahui satu tambah satu bukanlah tiga

Aku tak mengerti
Sudah satu jam aku di sini
Aku tak menyadari apa-apa
Selain pria dengan kelamin merasa bangga dirinya berani mencolek pantat wanita tanpa berkata maaf
Berani mencumbu wanita tanpa tanya, "bagaimana?"
Berani bercinta di kamar mandi tanpa bilang, "kau suka aku melakukannya?"
Tapi kau juga, wanita
Kau pengecut untuk meludah
Kau takut untuk memaki
Kau takut hak yang terkikis
Kau takut untuk mengatakan isi kepalamu

Ironinya,
Kau benci dibilang pelacur
Sementara sikapmu yang seperti itu mengingatkanku pada perempuan itu
Bangkitlah,
Kau lebih baik daripada perempuan yang rela menikah di  bawah umur dengan dalih "keamanan"
Munafik
Ironinya, orang yang berkata berhenti melakukan dosa justru tak mengerti bahwa surga tak bisa didapat tanpa dua hal
Manusia dan Tuhan
Baik-baiklah kepada dua itu
Bahagia hidupmu

Tak cuma Kartini yang berkata, habis gelap terbitlah terang
Sejatinya kau tak perlu takut
Hidup cuma sekali, ambil pisau, potong urat nadi
Usai
Tapi kau terlalu bodoh bila melakukannya tanpa mengencingi halte bus, hidup cuma sekali
Itu yang membuatnya begitu istimewa
Maka, tangisilah, rayakanlah
Demikian kata Farid Stevy

Oh Tuhan apa aku menegak segelas whisky terakhir tadi?
Aku sudah bilang aku sudah merasa cukup
Maafkan aku, aku bodoh
Aku menginginkannya
Aku melakukannya

Oleh karena itu
Sucikan darahku
Darah mereka
Darah orang tuaku
Saudara-saudaraku
Yahudi, muslim, kristiani, buddhis, hindu,
dan
semua umat agama-agamamu
Maafkan kami
Kami terlalu bingung dengan caramu untuk membuat kami kembali
Maafkan kami
Maafkan kami

2021

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun