Mohon tunggu...
Ilmiawan
Ilmiawan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Lagi belajar nulis.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Kancut Mendakwa Hujan

13 September 2021   17:54 Diperbarui: 13 September 2021   17:59 256
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Baiklah," ujar Pak Hakim, "ceritakan sedikit tentang hujan yang ingin kau dakwa itu selagi hujan masih mengguyur, agar ia mendengar dakwaanmu."

"Jadi begini, Pak Hakim," kata Kancut hendak bercerita lagi, "Tadi siang, semua orang juga tahu kan kalau matahari begitu terik bersinar. Saya pun bergegas bersiap-siap untuk solat jumat, saya mandi, saya menyikat gigi, mengenakan baju terindah saya, memakai wewangian, lalu kemudian saya berkaca, memandangi diri saya di seberang sana dan bertanya, apakah sudah cukup begini untuk menghadap-Nya? Namun, hati saya bilang belum, sebab ada satu air yang tak sengaja tiba-tiba menetes di ujung kulup yang saya pikir itu najis. Kembalilah saya melepas pakaian saya, saya kembali mandi, menyikat gigi, kemudian kembali mengenakan baju terindah yang saya punya, kembali memakai wewangian, dan terakhir kembali saya memandangi diri saya di seberang cermin. 

Tatkala saya pikir sudah cocok menghadap-Nya, saya pun bergegas keluar rumah. Saya lihat langit, masih terbuka lapang tanpa awan, membuat matahari bersinar sangat terang. Tetapi, sandal jepit bertali hijau yang saya kenakan kinil tak ada di sana, di teras. Kembalilah saya masuk ke dalam mencari sandal itu, sedang azan pertama 15 menit lagi kan berkumandang. Kesana kemari, ke segala penjuru rumah saya mondar-mandir mencari sandal itu, dan tak ada di mana-mana. Pupus sudah harapan saya untuk solat jumat. Saya termenung, duduk di lantai melipatkan kaki saya. Lalu tak lama kemudian, saya terkejut mendapati kaki saya ternyata sedari tadi mengenakan sandal itu kemana-mana, ah sialan."

Para hadirin dibuatnya terbahak-bahak lagi. Begitupun Pak Hakim, Diman, dan keluarga Nek Ipah, mereka tak mampu menahan tawanya. Seisi ruang itu, semuanya tertawa. Kecuali Nek Ipah, yang sedari tadi terus diselimuti dosa-dosa telah mencuri buah cokelat Diman. Ia hanya termangu menatap langit-langit. Hatinya berulang-ulang mengucap, meminta ampunan kepada Tuhan atas perbuatannya. Ia tak peduli akan cerita Kancut yang penuh lelucon itu. Ia tak peduli, yang ia pedulikan sedari tadi adalah dosanya yang tak habis-habis.

"Setelah mendapatkan sandal jepit, saya yang dengan penuh semangat mengejar saf pertama pun bergegas keluar rumah. Dan hampir jantungan saya dibuatnya tatkala melihat langit bergemuruh menurunkan hujan yang teramat deras, disambarnya petir-petir kepada saya yang alhamdulillah berhasil saya elak. Alam seakan-akan melarang saya pergi ke surau itu. Lalu dengan penuh amarah saya pun mengutuk hujan. Gara-garanya saya tak bisa berjalan ke surau. Saya tak peduli terhadap gemuruh itu, saya tak takut kalau-kalau saya tak berhasil mengelak sambaran petir-petir itu, toh kalau memang mati, ya mati syahid. Tapi, hujan sialan itu nyatanya berhasil mematahkan niat saya pergi ke surau. Saya mengumpat sebanyak-banyaknya. Oleh sebab itulah, dengan penuh dendam saya kepada hujan, datanglah keinginan saya untuk mendakwanya. Dengan hujan-hujan saya berlari menuju ruang sidang ini, dan inilah saya. Saya mohon betul kepada Yang Mulia, kabulkanlah dakwaan saya kepada hujan, tolong!"

Pak Hakim kebingungan memikirkan solusi atas keinginan Kancut itu. Di putar balikkan otaknya yang bergelar doktor hukum itu untuk mencari titik temu permasalahan hujan Kancut ini. Lalu, dengan hujan yang masih mengguyur kota kala itu, Pak Hakim bertanya dengan lantang yang menggemakan satu ruangan, "Hujan! Apa bantahanmu terhadap dakwaan yang sampai kepadamu?"

Tak ada jawaban dari hujan, ia terus mengguyur dengan derasnya tanpa henti. Pak Hakim pun bertanya lagi dengan lantang, "Hujan! Apa bantahanmu terhadap Kancut yang malang itu?"

Masih tak ada jawaban dari hujan. Pak Hakim bertanya lagi untuk terakhir kalinya, "Hujan! Oh, hujan! Ada dakwaan sampai kepadamu dan kau diam saja?"

Masih hujan tiada membalas, disisakannya ruangan sidang itu dengan gemuruh hujan yang menghantam genting-genting itu. Agaknya hujan memang salah, pikir Pak Hakim sebab hujan tak mampu membantah dakwaan itu. Akhirnya dengan berat hati, Pak Hakim pun menjatuhkan hukuman penjara kepada hujan selama satu tahun, dan mengatakan bahwa dosa Kancut tiada solat jumat itu dipertanggung jawabkan oleh hujan yang bisu itu. 

Ketukan palu menandakan keputusan sudah bulat, dan seisi ruangan bertepuk tangan. Kancut lega. Dendamnya tersampaikan. Ia bersyukur. Namun, ketika Pak Hakim hendak menutup kasus Kancut yang mendakwa hujan itu, tiba-tiba terlintas sebuah pertanyaan di kepalanya. Ia pun bertanya kepada Kancut yang tengah berbahagia, "Kau datang kemari hujan-hujanan?"

Kancut menjawab, "Iya, Yang Mulia."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun