Mohon tunggu...
Ilmiawan
Ilmiawan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Lagi belajar nulis.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen: Di Bawah Cahaya Bulan Seseorang Berduka

23 Juli 2021   18:49 Diperbarui: 5 Februari 2024   23:50 668
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi cerpen. (sumber: pixabay.com/ambroo)

Seorang lelaki paruh baya tampak berlari tergopoh-gopoh setelah berhasil membobol sebuah toko perhiasan di tengah kota. Diikuti oleh jejak kaki seorang opsir tua yang kebetulan tengah berpatroli di jalanan itu. 

Lelaki itu berlari secepat mungkin dengan mata yang menatap tajam ke hamparan panjangnya trotoar. 

Tangan kekar bekas mencabut ratusan serabut kelapa tampak dengan kuat mencekram tas hasil curian. Ia tidak terlihat lelah. Bahkan untuk peluh saja sedari tadi ia coba sembunyikan entah bagaimana. 

Mungkin anak perempuannya yang masih berumur 7 tahun menjadi motivasinya untuk terus berlari tanpa henti. Begitupula dengan opsir tua yang kian setia di belakangnya. 

Tampaknya umur hanyalah angka. Perutnya yang buncit, wajahnya yang keriput, bukanlah suatu penghalang untuk mengejar lelaki itu. Tapi apa mau dikata, kedua kakinya mau tidak mau sudah lebih dulu dimakan usia ketimbang lelaki itu. 

Sudah pasti ia kalah start, tetapi hal itu tetap bukanlah suatu penghalang bagi si opsir tua untuk terus menjaga langkah beberapa jarak di belakang pria itu. 

Dengan semangat yang membara ia melakukan tugasnya, terlebih 6 butir peluru telah terisi di pistolnya yang mungkin akan menjadi pilihan terakhirnya di malam itu.

Di tengah aksi kejar-kejaran itu, seekor anjing tiba-tiba melolong selepas si opsir tua melepaskan sebiji peluru revolver yang berhasil menembus perut lelaki itu.

Lelaki itu pun jatuh tersungkur, namun ia terus berupaya bangkit sekuat tenaga seraya mengerang kesakitan. Di sisi lain, opsir tua semakin melangkah mendekat seraya terengah-engah menodongkan revolvernya ke arah lelaki itu. 

Lelaki itu tak terlihat gentar, darah yang berlumuran di kaus hitam miliknya tidak membuat ia merasa khawatir. Alih-alih memohon ampun, ia malah menantang si opsir tua untuk kembali menembakkan revolver ke arahnya dengan mata bagai elang yang menantang angin. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun