Mohon tunggu...
Ilmiawan
Ilmiawan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Lagi belajar nulis.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Rina Tertawa Sebelum Rudi Pergi

18 Juli 2021   19:13 Diperbarui: 18 Juli 2021   20:02 255
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku tersedak, lalu terkekeh.

Rosi menatapku, "itu benar hahaha, aku serius, percayalah aku telah melewati waktu-waktu sepertimu bersama Jimi."

Aku diam saja.

"Tiga puluh tahun lalu aku menangis, dua puluh menit tepat sebelum ijab kabul pernikahan kami akan dilaksanakan, aku masih tak siap. Ada banyak hal yang ingin kuraih, tapi aku takut Jimi tak mau lagi denganku bila aku menolaknya. 10 tahun pernikahan kami, tiada hari aku tiada menyesal, ada saja hal yang kusesali sebelum aku tidur. Sampai suatu hari, hadirlah putriku, Jinni. Ia yang membuatku sadar, betapa indahnya pernikahan kami." Mata Rosi memerah, bisa kupastikan ia tak berkedip dari 1 menit yang lalu. "Mungkin aku tak bisa memberimu kata-kata bijak, karena itu hanya bualan, tapi percayalah, anak bisa dibilang bunga dalam pernikahan, kau akan senang melihatnya setelah bosan menatap suamimu sepanjang hari, tapi kau tak pernah bosan menatapnya."

Setelah itu Rosi terdiam, menenggak cairan terakhir di dalam botolnya. Lantas berdiri, dan menekan bahuku dengan tangan kanannya seolah berkata, semua akan baik-baik saja. Kemudian masuk ke dalam tendanya.

Aku kembali meratapi api yang menyala-nyala. Beberapa balok kayu masih utuh di sana. Satu percikan besar membuatku berkedip. Aku menaruh botol bir yang masih tersisa setengah, lalu berdiri dan masuk ke dalam pondok tak jauh dari tenda Jimi dan Rosi.

Ia benar, tak ada yang bisa memperbaiki ruang kosong di dalam diriku tanpa sesosok Rudi. Esok pagi aku harus bergegas kembali.

***

Aku melihat tanganku bersimbah darah di kamar mandi, perlahan menghilang di sapu air pancuran. Baju kaus hitam yang berlumur darah sudah kubakar di halaman belakang bersama dedaunan kering dan kenangan yang ada padanya. Dendam terbayarkan sudah.

Lelaki itu terduduk mati di mobil Pajeronya tadi pagi pukul sepuluh sebelum ia berangkat kerja. Aku tak peduli barang bukti apa yang bisa polisi temukan di dalam sana, tidak ada saksi yang melihat, tidak ada apapun clue untuk polisi. Tidak ada yang tersisa, tampaknya begitu.

Menjelang siang tadi, aku terduduk di depan tv sambil makan roti lapis, masih dengan darah yang belum kucuci. Kulihat berita telah tersebar. Istrinya yang aduhai beserta anaknya yang cantik menangis di seberang layar. Semua stasiun TV menayangkan berita itu hingga sore. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun