Maraknya ujaran kebencian dimana-mana, hal tersebut dilakukan atas asas kepentingan pribadi tanpa mementingkan efek kedepannya. Dari mulai penyebaran berita hoax sampai kabar terbaru yang masih hangatnya saat ini yakni penyerangan ulama oleh orang gila yang terjadi di berbagai daerah di Indonesia.
Orang gila dalam istilah islam disebut dengan majnun. Orang gila yang sesungguhnya (al-majnun haqqul majnun) menurut pandangan Rasulullah SAW adalah orang yang berjalan dengan penuh kesombongan, orang yang mementingkan dunia diatas akhiratnya, memandang orang lain dengan pandangan yang merendahkan, dan mengharapkan surga sedangkan ia selalu berbuat maksiat kepada Allah SWT.
Sedangkan, definisi gila menurut ahli psikologi memiliki istilah "Schizophrenia" yang berarti gangguan mental yang salah satu gejalanya adalah menglami halusinasi. Schizophrenia adalah gangguan fungsi di otak yang menyebabkan seseorang sulit mempertahankan akal sehatnya. Sehingga mereka melakukan sesuatu uang dianggap abnormal pada orang normal.
Akan tetapi, pada kasus kali ini tentang penyerang ulama oleh orang gila. Entah itu orang gila beneran atau orang yang pura-pura gila. Hal tersebut menjadi pertanyaan besar di berbagai kalangan? Ada apa gerangan  Indonesia ini?
Ketika dipikir secara logika, penyerangan ulama tersebut terjadi berturut-turut di berbagai daerah dengan korban yang berbeda. Perbuatan penyerangan pada ulama oleh orang gila sangat mengganggu ketertiban umum, bisa mempercepat berkembangnya isu SARA, mengundang konflik, dan ketidaknyamanan pada masyarakat dalam melakukan aktivitas apapun. Penganiayaan ini terjadi ketika terjadinya hiruk pikuk pemilu serentak 2018 di seluruh Indonesia.Â
Penyerangan ulama yang pertama terjadi pada KH. Umar Basri seusai sholat subuh di Pondok Pesantren Al-Hidayah Cicalengka, kabupaten Bandung (27/1). Kemudian penyerangan kepada Komando Pondok Pesantren PERSIS Ustadz Prawoto hingga meninggal di Blok Sawah Kelurahan Cigondewah Kaler, Kota Bandung (1/2/2018).
"Saya sampai detik ini belum teryakinkan ada kebetulan langsung secara beruntun apalagi sasaran atau korbannya relatif sama yaitu pemuka agama, pelakunya juga sama yang disebut mempunyai kondisi kejiwaan segala macam, jarak waktu peristiwa juga berdekatan. Apa mungkin itu suatu kebetulan? Saya tidak tahu, apapun itu menjadi PR untuk pihak kepolisian. Semestinya mereka tidak berkutat pada pelaku tapi, kepolisian harus mencari tahu siapa dibalik para pelaku". tutur Reza Indragiri, pakar psikolgi forensik.