Mohon tunggu...
Nurvia Istiyani
Nurvia Istiyani Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Content Writer

Content Writer Enthusiast

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Gaya Hidup Childfree yang Kurang Familier di Indonesia

9 Februari 2023   08:57 Diperbarui: 9 Februari 2023   14:23 311
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi perempuan (sumber foto: pexels.com/Kseniachernaya)

Baru-baru ini pengguna sosial media Indonesia heboh memperbincangkan soal gaya hidup childfree, pasca seorang penulis buku dan influencer Gita Savitri yang memutuskan untuk menjalani childfree bersama pasangannya seorang musisi Paul Partohap dan mengatakan bahwa karena childfree-lah yang membuat dirinya tampak lebih awet muda.

Sebelum Gita Savitri membagikan keputusannya untuk childfree, di Indonesia sendiri gaya hidup childfree memang kurang populer karena hal ini kontras dengan istilah umum yang berkembang di masyarakat soal "Banyak anak banyak rezeki". Namun, sebenarnya apakah childfree dan bagaimana childfree bermula? Berikut penjelasannya.

Secara bahasa childfree atau voluntary childlessness mengacu pada seseorang yang memutuskan untuk tidak memiliki anak dalam suatu hubungan. Dalam artikel Sharon K. Houseknecht yang berjudul Voluntary Childlessness menjelaskan ada dua perbedaan yang mendasar tentang tidak memiliki anak, yaitu secara sukarela dan secara tidak sengaja. Perbedaannya diantara keduanya didasarkan pada motivasi dan pertanyaan apakah mereka yang tidak menginginkan anak sama dengan yang tidak dapat memiliki anak meski mereka menginginkannya?

Childfree pertama kali muncul sebelum tahun 1901, dan kemudian menjadi sebuah 'tren' pada tahun 2014 di majalah online Psychology Today. Sebuah penelitian yang berjudul Voluntary Childlessness: Stigma and Societal Pressures On Men and Women menjelaskan bahwa gagasan tentang perempuan dan keibuan tampaknya masih identik, dan stigma tentang perempuan harus menikah dan memiliki anak adalah suatu keharusan sehingga, siapa pun yang menyimpang dari norma tersebut biasanya dipandang negatif. Stigma tersebut juga termasuk gagasan bahwa perempuan yang memutuskan tanpa anak memiliki hati yang dingin, egois, dan materialistik.

Padahal seseorang memutuskan untuk memiliki anak atau tidak adalah sebuah pilihan yang bebas dilakukan. Hal ini kurang familier di Indonesia sebab masih kuatnya korelasi tentang perempuan dan tugas berkelanjutan sebagai seorang ibu yang dianggap suatu kewajiban, bukan pilihan. Penelitian tersebut secara keseluruhan menemukan bahwa ada kaitannya dengan bias gender yang menjadi bukti substansial terhadap voluntary childlessness.

Lalu apakah benar bahwa perempuan yang memutuskan untuk childfree hidupnya akan lebih bahagia? Sebagai makhluk sosial, keputusan untuk childfree memang mengundang reaksi keluarga, teman, dan orang-orang sekitar, karena manusia adalah makhluk yang mendambakan penerimaan dari orang-orang, terkadang  gagasan tentang mengungkapkan ide yang mungkin bertentangan dengan apa yang diyakini oleh masyarakat umum atau lingkaran sosial adalah suatu hal yang menakutkan. 

Lebih lanjut, penelitian tersebut menemukan bahwa perempuan yang secara sukarela tidak ingin mempunyai anak memiliki tingkat kesejahteraan secara keseluruhan yang lebih tinggi dibanding dengan perempuan yang tidak memiliki anak karena tidak sengaja (yang memiliki kendala kesehatan).

Selain itu, ada sebagian perempuan memutuskan untuk childfree dengan motif atau alasan lain daripada soal kebebasan yaitu untuk menyelamatkan bumi dari overpopulation. Hal ini yang termuat dalam salah satu postingan artikel Huffpost Personal yang berjudul I'm Choosing Not To Have Kids Because I Care About The Environment, dalam tulisannya tersebut Marianna Keen menjabarkan bahwa dirinya seperti memiliki tanggung jawab untuk tidak memiliki anak sebagai bagian dari upaya kolektif terkait ukuran populasi yang tidak berkelanjutan.

Baginya populasi dunia yang tumbuh sekitar 83 juta tiap tahun, dengan angka kelahiran yang tinggi dan penurunan tingkat kematian akan berdampak buruk bagi bumi. Menurutnya, memiliki anak berarti melipatgandakan pengaruhnya terhadap lingkungan, dan karena harapan hidup meningkat, menonsumsi sumber daya dan menghasilkan limbah sekitar 40% lebih lama dibanding enam dekade lalu, itu membuatnya merasa tidak nyaman.

Selain itu, populasi yang sangat besar dan kepadatan di wilayah tertentu memberikan tekanan pada infrastruktur sosial seperti, perawatan kesehatan, kesejahteraan, perumahan dan meningkatkan pengangguran. Walaupun Keen menyimpang dari norma sosial seorang perempuan dewasa yang lekat dengan memiliki anak, dirinya merasa nyaman terhadap keputusannya tersebut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun