Mohon tunggu...
Nurul Eka Oktalisa
Nurul Eka Oktalisa Mohon Tunggu... master of communication

.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Saya Bicara Maka Saya Ada, tetapi Apakah Saya Bebas?

7 Mei 2025   16:36 Diperbarui: 7 Mei 2025   17:14 60
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Saya Bicara Maka Saya Ada, tetapi Apakah Saya Bebas?

Dalam kehidupan selalunya kita mendapatkan pertanyaan, apakah komunikasi dapat berlangsung natural atau mengharuskan adanya kesengajaan? 

Komunikasi mengharuskan adanya kesengajaan karena jika tidak sengaja maka pemahaman makna untuk saling berinteraksi dalam mengartikan sebuah pesan tidak akan sampai dengan baik atau dengan kata lain komunikasi yang dibangun tidak berhasil.

Mengutip frase filsof Prancis Rene Descortes (1596-1650) yang terkenal dengan cogito ergo sum (saya berpikir maka saya ada), sering juga dimodifikasi menjadi "saya berbicara (komunikasi) maka saya ada". Kalimat tersebut adalah bentuk suatu kesengajaan yang dilakukan manusia yaitu berpikir, manusia dengan secara sengaja berpikir untuk mengeluarkan suara atau berbicara guna berinteraksi atau berkomunikasi baik kepada diri sendiri, orang lain, kelompok, organisasi, maupun publik dan massa agar pesan yang disampaikan dapat diartikan dengan sama makna atau sepemahaman. Jika sudah sama makna dan mendapatkan feedback atau respon yang sesuai, dapat dikatakan bahwa komunikasi tersebut telah berhasil.

Sedangkan komunikasi yang tidak sengaja seperti gerak tubuh secara repleks, misalnya menganggukkan kepala, menggelengkan kepala, mengangkat bahu, melambaikan tangan, mengerutkan kening, mengangkat alis, dan lain sebagainya. Komunikasi bentuk ini juga dikenal sebagai komunikasi non verbal. Jika kita menggunakan teknik komunikasi ini untuk berinteraksi kepada orang lain yang baru kita temui maka kemungkinan untuk keberhasilan suatu komunikasi yang akan kita bangun sangat kecil.

Pada dasarnya komunikasi bentuk non verbal ini juga terjadi karena adanya rangsangan atau stimulus yang tampak dipermukaan sehingga secara tidak sengaja terjadi respon refleks maka terbentuklah komunikasi non verbal, kemudian apabila respon yang diterima sama makna maka komunikasi berhasil dibangun, akan tetapi bila terjadi makna ganda atau ambigu maka komunikasi dikatakan tidak berhasil. Seperti contoh sederhana didalam suatu kelas ruang belajar, seorang mahasiswa mengerutkan kening ketika dosen sedang menjelaskan materi kuliah, dosen dan teman-teman sekelas yang melihatnya secara tidak langsung mengartikan bahwa mahasiswa tersebut sangat berkonsentrasi sehingga bingung memahami materi yang dijelaskan. Namun yang sebenarnya terjadi adalah mahasiswa tersebut sedang lapar sehingga sulit untuk fokus pada materi yang diberikan selama pelajaran berlangsung dan memikirkan setelah kelas akan lanjut membeli makan dimana. Jika tidak adanya komunikasi yang dilakukan secara sengaja maka pemahaman makna antara mahasiswa dan dosen serta teman-teman sekelasnya akan berbeda, tetapi apabila ditanyakan langsung (komunikasi secara sengaja), mengapa kamu mengerutkan kening? Dan mahasiswa tersebut menjawab "saya lapar" maka makna yang disampaikan dan diterima akan sama makna, sehingga suatu keberhasilan dalam komunikasi pun telah didapatkan.

Pada dasarnya manusia adalah aktif, bebas menentukan sesuatu yang diinginkan. Manusia bebas menentukan apa yang akan dikonsumsinya, apa yang dibutuhkannya, apa yang tidak diperlukannya, apa yang bisa membuatnya bahagia, bagaimana dia mengontrol kesedihannya, mau menjadi apa, mau dikenal sebagai apa, dan lain sebagainya. Akan tetapi manusia tidak bisa menghindari profesinya sebagai makhluk sosial yang terikat akan nilai, norma, dan aturan-aturan yang berlaku. Semakin kesini, semakin membuktikan bahwa sebenarnya manusia adalah makhluk yang pasif karena keterikatan akan norma-norma yang berlaku tersebut menjadikan manusia terkendali oleh lingkungan sosialnya. Manusia tidak bebas lagi menentukan keinginan sesuka hati, seperti keterikatan akan agama, manusia tidak boleh mengkonsumsi minuman berakohol yang memabukkan, memakan hewan melata, dan sebagainya.

Terikat akan lingkungan, tata cara berbicara, berprilaku, dan bersikap juga ditentukan dan dipengaruhi, apabila lingkungan kita mayoritas orang Jawa, maka kita akan bersikap layaknya orang Jawa yang santun dan lemah lembut dalam bertutur, ulet dalam bekerja, dan sopan dalam berpakaian. Apabila kita hidup, tumbuh dan dibesarkan dilingkungan Eropa, maka kita juga akan memiliki pola sikap dan pikiran layaknya orang Eropa yang maju karena memiliki fikiran yang hebat, tantangan hidupnya keras karena melalui empat musim pancaroba, serta rasa keingintahuannya yang tinggi. Sikap yang terbentuk pun akan lebih cuek, individualistik, dan sebagainya. Apabila kita sering berkumpul bersama anak punk jalanan maka kita akan bersikap seperti mereka yang ugal-ugalan, hidup bebas dijalanan sebagai bentuk ironi pemberontokan akan kejamnya dunia.

Jika kita berada dilingkungan pesantren, senang mendengarkan kajian kerohanian, bertemen dengan para ustadz/ah pengahafal Al-Qur'an maka kitapun akan mengikuti jejak mereka sebagai hafidz/ah penghafal Al-Qur'an. Bak kata pepatah "jika kita berteman dengan penjual minyak wangi, maka kita juga akan kecipratan wanginya". Contoh terakhir, seperti kehidupan kampus dimana mahasiswa/i mayoritas berbusana muslim/ah, menggunakan gamis dan berjubah walaupun tidak diwajibkan dalam tata tertib berbusana secara spesifik, maka kita jika diposisi tersebut akan membaur melebur mengikuti cara berpakaian mayoritas, sebab kita belum siap akan perbedaan, maksudnya adalah kita tidak siap menjadi titik fokus karena berbeda cara pakaian. Kita lebih senang mengikuti mayoritas agar tidak terlihat aneh. Namun ada juga yang siap akan perbedaan dan acuh terhadap apa yang akan dikatakan orang terhadapnya, meskipun mereka tergolong minoritas. Maka dapat disimpulkan bahwa manusia adalah pasif dan dapat dikendalikan oleh lingkungan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun