Menyimak apa yang menjadi perbincangan dalam Full Moon Discuss FSRD ISI Surakarta tempo hari, 15 November 2025; orang Jawa mengatakan "gayeng," (suasana ramai yang menyenangkan). Banyak informasi tentang dunia kriya yang perlu diketahui oleh publik, lebih-lebih para kriyawan.
Tulisan ini adalah review pertama dari 3 point review yang penulis tangkap. Dan akan dilanjutkan dalam tulisan berikutnya.
Sesi pertama sebagai pemantik diskusi dan nara sumber adalah Agus Sriyono, SSn. sebagai Ketua Askrina (Asosiasi Kriyawan Republik Indonesia), sekaligus Kurator Pameran UNDAGI 2025, dan Kurator Kementerian Perindustrian RI untuk Pameran ekspor produk furniture & craft; JIFFINA, IFFINA dan IFEX.
Menurut Agus Sriyono, telah dideklarasikan, bahwa istilah "Seni Kriya" itu sendiri berbeda dengan "craft" (dalam Bahasa Inggris). Meski dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia dikatakan: "Kriya adalah pekerjaan (kerajinan tangan). Sedangkan dalam bahasa Inggris, 'kriya' disebut 'craft', berarti energi atau kekuatan, yang digambarkan dengan suatu keterampilan untuk mengerjakan atau membuat sesuatu.(KBBI)
Mungkin menurutnya, istilah 'kriya' merujuk pada Budaya Timur yang mana karya kriya lebih mempunyai kedalaman makna dengan simbol-simbol yang ditampilkan. Sedangkan 'craft' lebih pada karya kerajinan tangan yang dicipta hanya sesuai kebutuhan kehidupan pragmatis sehari-hari. Perbedaan ini yang akan berimbas pada efek ke depan ketika seni kriya memasuki ruang pasar. Khusus pasar luar negeri, para buyer tak akan faham dengan istilah 'kriya'. Yang mereka tahu adalah 'craft.' Oleh karena itu, mungkin diperlukan redefinisi tentang 'seni kriya' untuk diganti menjadi 'kerajinan tangan' atau 'craft,' agar produk kriya lebih leluasa masuk di pasar domestik sekaligus pasar luar negeri.
Berbeda lagi pendapat Nur Rohmad, Ketua UNDAGI 2025; bahwa dia tak setuju istilah 'kriya' perlu diganti 'craft,' karena tujuan mengganti craft adalah kebutuhan pasar. Â Perkara orang Eropa atau manapun tak tahu tentang 'kriya', itulah tugas kita untuk memahamkan kepada mereka, apa itu kriya.? "Bagi saya 'craft' tidak cukup utk menjelaskan 'kriya', karena Budaya Nusantara tak lahir dari kebutuhan pragmatis," begitu katanya.
Sengit memang perdebatan tentang definisi ini, mungkin tak akan pernah selesai. Diskusi malam itu tetap asyik dan hidup, apalagi ditemani cemilan angkringan dan segelas teh manis kental.
Kemudian sedikit mengulik sedikit tentang dunia kriya dalam ranah pendidikan.
Seni kriya sampai di era pertengahan Tahun 80-an masih menggunakan paradigma lama. Artinya pada awal munculnya seni kriya dalam ranah pendidikan, proses kreatif masih terkungkung pada motif-motif dengan 'aturan-aturan' lama, harus sesuai pakem yang ada, dan 'tabu' untuk melakukan proses kreatif secara bebas. Akhirnya, produk kriya harus sesuai dengan hasil olah kreasi para leluhur dan kita hanya sebagai penerusnya tanpa ada kebebasan berkreasi.
Dengan pola yang terkungkung seperti itu, pada saat itulah para kriyawan membentuk Komunitas Hikayo (Himpunan Kriyawan Yogya) Â untuk "memberontak" paradigma lama yang tidak membebaskan proses kreatif. Perlawanan itu muncul di Kampus ISI Yogyakarta dalam bentuk eksplorasi teknik dan pengolahan bahan terkait dengan pengembangan seni kriya.
Â
Pasca Tahun 80-an, dengan semangat baru, para kriyawan membentuk Pakriyo (Paguyuban Kriyawan Yogyakarta) pada tahun 1992 yang diinisiasi oleh Drs. Narno (alm), Ki Mujar Sangkerta, Timbul Raharjo (alm) dan Agus Sriyono, yang kemudian melahirkan ide dan gagasan tentang pameran yang lebih luas, kebebasan ide dan kreatifitas yang pada gilirannya melahirkan varian- varian karya kriya lebih banyak, hingga muncul kriya kontemporer dan kriya kreatif .