Sore itu, selepas dari rumah Tama kriyawan batik Pekalongan, kami rombongan Tim Kuratorial Pameran UNDAGI 2025 bergegas menuju Kota Ukir Jepara. Sampai di Jepara kira-kira pukul 20.00 wib. Dan sampailah kami di rumah Afif, kriyawan asli Jepara alumnus ISI Yogyakarta. Di sana telah berkumpul beberapa kriyawan dan rekan-rekan Afif dalam Komunitas Rumah Kartini. Dan kami pun ngobrol sana-sini asyik tentang UNDAGI dan dunia kriya, tentu sambil minum kopi kental.
Target kami di Jepara ada 4 Kriyawan; Afif, Rony, Hartono dan satu lagi  singgah di Gallery Mukodi (alm). Keempat kriyawan ini kami pilih sebagai target kunjungan karena di samping mereka  mempunyai karya yang unik dan berbeda dengan karya kriya Jepara pada umumnya, mereka juga telah mejadi peserta UNDAGI pada tahun 2016 dan 2018.
Telah menjadi hal yang umum diketahui oleh masyarakat, bahwa Jepara kaya akan kriya kayu, -- khususnya ukir yang telah menjadi konsumsi khalayak--, furniture maupun karya produk kriya lainnya. Bahkan Jepara dijuluki The World Carving Center, ini karena sejak awal abad ke-19 Jepara telah dikenal dunia tentang seni ukirnya.
Sepanjang daerah Tahunan, Senenan, dan pelosok Jepara yang lain, pada umumnya memproduksi kriya kayu dengan motif ukir ornamental, daun Trubusan atau motif Jumbai. Motif-motif ini telah turun temurun dari leluhur orang Jepara dan telah menjadi karakter ukiran Jepara yang tak hanya hasil seni budaya, tapi menjadi mata pencaharian warga Jepara.
Menilik sejarah sejenak, bahwa seni ukir Jepara telah muncul pada masa Raja Brawijaya (abad 15 M), oleh seorang seniman Prabangkara. Kemudian pada masa Ratu Kalinyamat (1549 M) atau pertengahan abad 16 M seni ukir dikembangkan oleh anaknya bernama Retno Kencono. Dan sampai hari ini, Jepara menjadi Kota Ukir yang mendunia. (detik.com)
Berabad-abad perjalanan seni ukir Jepara tentu mengalami perkembangan, baik teknik maupun motifnya. Nah, karya empat orang kriyawan Jepara ini  saya kira bisa menjadi semacam breaktrough (terobosan) karena mempunyai keunikan masing-masing.
 sebuah karya kriya dari Komunitas Rumah Kartini (Afif dkk) yang memuat sejarah daerah Senenan Jepara. Yang mana pada saat Jepara dipimpin seorang Kanjeng Adipati, ada seperangkat gamelan (gong) yang tak bisa berbunyi meski ditabuh. Kemudian Sang Adipati mengumpulkan seluruh masyarakat dalam pisowanan agung, dan meminta para tokoh masyarakat untuk menabuhnya. Dan hanya satu orang yang dapat membunyikan gong tersebut. Karena pada saat itu terjadi pada hari Senin, maka setiap bulan sekali diadakan pisowanan agung Senenan dan membunyikan gong tersebut sebagai do'a untuk keselamatan warga Jepara.
Replika Gong Senenan;Keris Kayu; Keris karya Rony ini sengaja dibuat dengan ukuran lebih besar dari ukuran keris biasa. Tingginya sekitar 2 meter lebih. Dengan ukiran halus dan berkarakter, keris kayu ini menampakkan visual keris dengan daya craftmanship yang tinggi.
Sangkar Burung; Karya Hartono ini tak hanya sekedar sangkar burung biasa. Tapi sangkar burung yang dapat bercerita sejarah Perang Diponegoro! Ukurannya standard ukuran sebuah sangkar burung, tapi pahatan yang sangat detail yang menceritakan perang Diponegoro dengan media yang sangat kecil untuk bercerita tentang sebuah perang, menjadikan karya ini luar biasa detail. Bahkan proses membuatnya harus menggunakan kaca pembesar.