Mohon tunggu...
Nurul Muslimin
Nurul Muslimin Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Orang Biasa yang setia pada proses.

Lahir di Grobogan, 13 Mei 1973

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ini yang Mestinya dilakukan Pemerintah dalam Dunia Film (Bagian #1)

16 September 2017   15:44 Diperbarui: 16 September 2017   18:00 3156
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar: http://ruangberkah.blogspot.co.id

Seperti halnya dalam dunia ekonomi, dunia perfilman tidak hanya membutuhkan kreatifitas, tapi juga membutuhkan pembiayaan sebagai modal usaha.

Lulu Ratna, pengamat perfilman nasional menyoroti masalah support pemerintah dalam hal permodalan dalam industri perfilman. Menurutnya, peran pemerintah saat ini terbilang cukup minim bila melihat fakta di lapangan saat ini. Sebab banyak penggiat film nasional harus rela mengeluarkan uang pribadi untuk memproduksi film-filmnya.

Untuk dunia industri film skala menengah ke atas, mungkin saja telah mempunyai modal sendiri, atau telah dipercaya oleh perbankan untuk produksi-produksi filmnya. Meskipun tidak semua perusahaan mendapatkan kepercayaan perbankan. Saya yakin bank tidak mudah memberikan kepercayaan (trust) pada dunia usaha perfilman, paling tidak harus mempunyai portifolio produksi film yang telah menguntungkan dan prospektif. Di samping itu bank juga akan melihat track recordcalon debitur secara teliti. Karena pasti bank tidak mau menambah NPL (Non Performing Loan) dengan memberikan kucuran kredit kepada pihak yang dianggap kurang menguntungkan.

Persis seperti yang dikatakan Ketua Gabungan Perusahaan Bioskop Seluruh Indonesia (GPBSI), Djonny Syafruddin  menganggap bahwa industri perfilman nasional belum masuk kategori bankable. Sehingga banyak perusahaan perbankan cukup sulit untuk memberikan pinjaman kepada para sineas atau penggiat film untuk menyediakan biaya produksi film. (Bisnis.com, 2015)

Secara umum nasib industri perfilman relatif sama dengan perusahaan Event Organizer, sulit mendapatkan predikat bankable.Mungkin dinilai karena terlalu besar resiko dan unsur gambling-nya. Nah, di sinilah peran pemerintah untuk menjembatani, atau mungkin menjadi semacam 'afalis' bagi usaha perfilman untuk mendapatkan kucuran kredit dari perbankan.

Skema yang dibuat Bekraf untuk permodalan industri kreatif cukup lengkap dan perlu kita apresiasi. Bekraf menamakan program ini dengan nama "Dekraf" (Dana Ekonomi Kreatif). Ada pinjaman dari Bank, CSR (Corporate Social Responsibility) dari BUMN (Badan Usaha Milik Negara), modal ventura, filantropi, dan pengumpulan dana publik melalui IPO (Initial Public Offerings) di Bursa Efek.

Tak hanya berhenti di konsep, Dekraft lebih lanjut diimplementasikan ke dalam beberapa program kegiatan, yakni:  1). Bekraf Financial Club (BFC), 2). Penyaluran KUR bagi pelsaya ekonomi kreatif, 3). Kelas Keuangan Konvensional dan Syariah, 4). Inisiasi terbentuknya skema Intellectual Property Financing (IPF). (http://www.bekraf.go.id).

Apapaun yang terkonsep perlu kita apresiasi, namun perlu dicatat pula, bahwa program ini berlaku untuk industri kreatif secara kelesuruhan lho! Bukan hanya film. Film hanya salah satu sub sektornya saja. Artinya, jika diambil rata-rata setia sub sektor mendapatkan nilai nominal sama, berarti sub sektor film hanya akan mendapatkan peluang sebesar 1/16 (6,25%) dari budget yang diprogramkan oleh Bekraf.

Program ini pun belum ada informasi lebih lanjut tentang hasil dari pelaksanaan program Dekraf. Mari kita pantau terus sebagai social control agar program-programnya lebih tepat sasaran dan memberikan banyak manfaat bagi dunia perfilman.

Dalam hal pembiayaan film, BPI juga membentuk suatu bidang yang dinamakan Fasilitasi Pembiayaan Film. Menurut informasi dari website BPI, program ini bertanggungjawab pada pembentukan serta pengelolaan sistem pembiyaan film tertentu yang berkualitas baik dari berbagai aspek dan kepentingan (https://www.bpi.or.id/bidang.html) Masih sangat normatif, belum jelas sistemnya, debatable dan tidak/belum applicable. Sehingga perlu di-breakdown ke dalam program kegiatan dan sistem yang lebih riil. Karena bagaimanapun sebuah program dari lembaga publik yang didirikan berdasarkan undang-undang dari pemerintah haruslah transparan. 

Program ini saya katakan masih debatable karena kriteria "film tertentu yang berkualitas baik" ini pun masih sangat bisa diperdebatkan. "Baik" yang seperti apa? Dan "Baik" menurut siapa? Ini salah satu Pekerjaan Rumah (PR) untuk BPI untuk menggarap program pembiayaan dunia perfilman agar sistematis, tepat sasaran dan transparan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun