Mohon tunggu...
Nurul Muslimin
Nurul Muslimin Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Orang Biasa yang setia pada proses.

Lahir di Grobogan, 13 Mei 1973

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

The Underdogs: Respon Film pada Zaman Media Sosial

23 Agustus 2017   09:06 Diperbarui: 23 Agustus 2017   09:15 1890
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar: www.klikstarvision.com

Pergantian melleniumyang diiringi perkembangan teknologi seakan memisahkan antara waktu di abad 19 ke abad 20 secara hitam putih. Padahal perubahan budaya terjadi secara gradual, dan tidak serta-merta. Demikian pula munculnya istilah generasi milenialseakan-akan terpisah dengan generasi sebelum-sebelumnya. Zaman serba cepat, bak kilat yang muncul dengan sangat cepat.

Di mana dunia terasa sempit, tak berjarak. Inilah zaman di mana kejadian di belahan dunia satu, dalam hitungan detik bisa diketahui oleh belahan dunia lain. Tapi apapun, munculnya fenomena-fenomena yang ada di hadapan kita seakan telah menjadi kesepakatan bahwa situasi, kondisi dan pemetaan zaman telah terjadi seperti itu.

Demikian juga dalam dunia film. Sebagai media ekspresi kreatif, saya sepakat jika film harus selalu mengikuti zamannya. Film harus selalu berubah sesuai dengan lajunya waktu, baik temanya, sentuhan teknologinya, maupun metode bertuturnya. Dalam konteks ini film harus dinamis, tidak ketinggalan zaman, selalu update,dan --warganet bilang-- 'kekinian'.

Respons kreatif yang dilakukan dunia film terhadap perubahan zaman, terutama munculnya dunia maya beserta media sosialnya sebetulnya telah dimulai sejak awal dekade 2000-an. Dalam laman https://www.searchenginejournal.com disebutkan ada 25 film yang mengangkat tema media sosial. Sekedar menyebutkan, di antaranya adalah: 1). The Social Network, yang mengangkat kehidupan sang penemu Facebook, Mark Zuckerburg; 2). We Live in Public,sebuah film dokumenter yang mengangkat efek media dan teknologi terhadap kehidupan individu. 3). Catfish,4). Terms And Conditions May Apply, 

5). #chicagoGirl: The Social Network Takes on A Dictator, 6). Startup.com, 7). The Pirates of Silicon Valley, 8). Tron, 9). Inside, 10). Me and You and Everyone We Know, 11). Disconnect, 12). #140 Characters: A Documentary About Twitter, 13). The Matrix, 14). Adoration, 15). Julie & Julia, 16). Hard Candy, 17). You've Got Mail, 18). UnFRIEND, 19). State of Play, 20). InRealLife, 21). 140, 22). Noah, 23). The Internship, 24). XOXO, dan 25). Generation Social: A Documentary Film.Film-film ini menjadikan media sosial atau secara umum dunia maya, menjadi bahan eksplorasi cerita dan menjadi faktor serta setting dramatik yang cukup krusial.

Sedangkan di Indonesia sendiri, Film The Underdogs yang disutradarai Alwin Adink Liwutang ini saya melihat merupakan film ke-2 yang mengeksplorasi media sosial setelah Republik Twitter(2012). Republik Twittermuncul ketika di Indonesia marak penggunaan media twitter. Demikian juga The Underdogs muncul ketika Media Youtube menjadi boomingdi Indonesia, bahkan dunia. Secara bisnis, dilihat dari pasar perfilman dan untuk kepentingan menggaet penonton, kedua film ini timing-nya pas. Namun dalam realitasnya, sepertinya penonton Republik Twitter tidak seperti yang diharapkan.

Saya menonton film The Underdogs ini di baris ketiga dari belakang. Tiga baris itupun tidak penuh, dan di depan saya hanya ada 2 orang penonton, dan saya anggap relatif kosong sampai baris depan layar! Dan pertanyaan anak saya (kelas 4 SD) waktu kami menonton kemarin: "Yah, kenapa bangku di depan itu kosong semua?" Saya pun menjawab: "Mungkin orang-orang pada sibuk, jadi nggak bisa menonton film ini."

Namun dalam hati saya tetap berharap, bahwa film Indonesia akan degemari dan menjadi 'tuan' di negeri sendiri. Setelah sampai di rumah, karena penasaran, kemudian saya pun searching di Youtube, dan saya lihat kegiatan nonton barengnya pun di beberapa kota, Surabaya dan Makassar, publik cukup antusias untuk menonton. Semoga dugaan saya bahwa film ini tidak laku, meleset. Kita tunggu saja sampai berapa hari film ini bertahan tayang di layar lebar.

Secara tematik, sebenarnya nilai yang dimuat film ini simpel, tentang sebuah persahabatan remaja, kemudian memunculkan pula persaingan eksistensi di antara kelompok, dan ending-nya pun happy; bersatunya kelompok yang sebelumnya saling seteru.  Dengan tema ini kemudian dikemas secara drama komedi kontemporer a'la pergaulan remaja era milenial atau era media sosial. Youtube sebaga media sosial video yang sangat populer menjadi bahan untuk eksplorasi cerita. Alhasil, film ini mampu memberi gambaran fenomena sosial kehidupan remaja dengan segala permasalahannya di media sosial.

Menurut saya film produksi Starvision ini cukup kreatif. Secara visual juga dinamis, dan kaya gambar. Demikian pula musikalitasnya keren! dan digarap cukup detail, dengan melibatkan Rapper Saykoji untuk menggarap musiknya. Scene-scene yang cukup bagus menurut saya di antaranya adalah waktu pertunjukan musik. Scene yang di mana dalam dinamisasi visual yang baik, melibatkan banyak talent(pemain), ada sentuhan sedikit video mapping di atas stage(panggung), menjadikan scene ini semakin kaya dan dinamis. Sesuai dengan jiwa remaja sekarang yang penuh dengan budaya pop.

Respons kreatif dunia film semacam ini bagi saya sangat penting, karena publik akan menangkap sebuah realitas kontemporer sebagai refleksi terhadap kehidupan kita semua. Tentu harus ada muatan nilai yang dibangun; tentang persahabatan, tentang toleransi, tentang karakter bangsa, dan segala nilai kebaikan. Karena tanpa muatan itu, film menjadi tak bermakna dan --lebih tragis---menjadi sampah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun