Mohon tunggu...
Nurul Muslimin
Nurul Muslimin Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Orang Biasa yang setia pada proses.

Lahir di Grobogan, 13 Mei 1973

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Pajak dan Entrepreneurship

10 Oktober 2016   17:40 Diperbarui: 10 Oktober 2016   17:53 160
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Sumber foto: http://www.rmol.co/images/berita/normal/831502_10390225062015_Pajak_ilustrasi.jpg"][/caption]Sudah menjadi mainstream pengelolaan sebuah negara, bahwa pajak merupakan elemen penting dalam pembiayaan pembangunan, bahkan faktor terpenting dalam konteks Indonesia, ketika pajak menjadi penerimaan terbesar (84,5%) Pendapatan Negara.

Merujuk pada esensi tujuan dikenakannya pajak adalah untuk 'kesejahteraan' rakyat, maka pajak menjadi 'kewajiban' kolektif dan menjadi 'kesepakatan' nasional, karena telah dituangkan dalam undang-undang yang notabene dibuat oleh rakyat melalui wakil-wakilnya di DPR bersama-sama Pemerintah dengan ukuran-ukuran tertentu pula.

Merujuk pada beberapa pengertian tentang pajak, disebutkan bahwa 'pajak' merupakan 'iuran' atau retribusi dari rakyat untuk negara dalam membiayai program-program pemerintah yang mempunyai tujuan (goal) 'kesejahateraan' rakyat tanpa penerimaan manfaat langsung oleh rakyat secara individu, meski mempunyai manfaat tidak langsung kepada masyarakat.

Di sini saya tidak akan membahas detail permasalahan-permasalahan perpajakan, namun saya ingin mengajak kita semua pada pemikiran tentang kesadaran pemahaman terhadap pola perpajakan dan pola entrepreneurship yang selama ini didengung-dengungkan oleh pemerintah sebagai pengelola negara. Sebab tanpa pola perpajakan yang baik, yang terjadi adalah pendistorsian nilai 'kesejahteraan' itu sendiri, munculnya ketidakadilan, dan ujung-ujungnya negara akan mendapatkan resistensi dari partisipasi masyarakat.

Mengapa saya hadapkan pada pola entrepreneurship? Karena bagi kaum entrepreneur --yang bermodalkan kreatifitas,-- prinsipnya adalah bahwa banyak jalan menuju Roma", banyak jalan untuk meraih kesejahteraan rakyat yang notabene menjadi tujuan adanya pajak. Artinya, pajak bukanlah satu-satunya jalan untuk mensejahterakan rakyat? Buktinya, Uni Emirat Arab tidak mengenakan pajak pada rakyatnya.

Mari kita cermati bersama. Kita sepakat bahwa muara manfaat pajak adalah 'kesejahteraan' rakyat. Sedangkan kita tahu, bahwa rakyat sendiri terdiri dari berbagai lapisan; mulai level kaya sampai strata ekonomi marginal, alias miskin. Maka pola pemungutan pajak, berikut nilai-nilainya seharusnya tidak 'melukai' nilai-nilai keadilan, tidak mendistorsi dan menghambat ekonomi masyarakat, sehingga melahirkan kesadaran kolektif masyarakat dalam membangun kesejahteraan.

Dalam konteks ini saya sepakat dengan Adam Smith dalam bukunya An Inquiry into The Natural of Wealth of Nations yang dicuplik Prof. Supramono dalam bukunya Perpajakan di Indonesia, bahwa pengelolaan perpajakan seharusnya berpijak pada asas-asas: equality (kesetaraan) atau keadilan, certainty (pemungutan pajak harus jelas dan tidak sewenang-wenang), convenience (pemungutan pajak di mana wajib pajak harus dalam kondisi nyaman), dan asas ekonomis; pemungutannya haruslah simpel dan tidak berbiaya mahal.

Banyaknya kegelisahan masyarakat terhadap pelaksanaan tax amnesty atau perpajakan secara umum, terutama para pelaku Usaha Mikro Kecil & Menengah patut dicermati, diteliti dan seharusnya muncul rasa empati dari pemerintah dan DPR. Karena di beberapa diskusi dengan teman-teman pelaku UMKM, yang muncul adalah persepsi yang sama, bahwa pola perpajakan yang ada bisa menjadi semacam momok (hantu) yang sewaktu-waktu mencengkeram, menakut-nakuti bahkan bisa bermuara pada pemenjaraan! Karena setiap sisi upaya warga negara dalam beraktifitas ekonomi dibidik dan dikenakan pajak! (Untuk tidak mengatakan dipalak!)

Besaran pajaknyapun patut dipertanyakan, dari mana angka-angka sebesar itu? Sebagai pelaku UMKM kadang saya heran, keuntungan tidak seberapa yang diperoleh dari usaha yang kadang-kadang cukup berdarah-darah, dipotong sedemikian enaknya untuk pajak.

Kemudian yang muncul adalah, adakah pola yang lebih manusiawi? Katanya untuk kesejahteraan? Kesejahteraan yang mana? Ini yang menjadi PR (Pekerjaan Rumah) bagi pemerintah sebagai eksekutor program dengan DPR sebagai pembuat Undang-undang.

Sekarang mari kita tengok pola entrepreneurship. Dunia entreprepeurship penuh dengan kreatifitas. Industri Kreatif pun disupport oleh Pemerintah, oke lah. Berdirinya Bekraf (Badan Ekonomi Kreatif) mungkin mewakili atau sebagai bukti bahwa Pemerintah mendukung industri kreatif, meskipun kiprahnya baru seumur jagung.

Industri kreatif digadang-gadang sebagai sektor yang menyumbang pertumbuhan ekonomi yang cukup signifikan. Maka di sana-sini banyak pelatihan tentang industri kreatif, dalam rangka menumbuhkan perekonomian nasional.

Tak dapat dipungkiri, bahwa dalam dunia entrepreneur UMKM, yang notabene menduduki persentasi terbesar industri di Indonesia (99%), bahwa strata ekonomi tersebut (UMKM) sarat dengan nilai-nilai kemandirian, keuletan, dan kreatifitas. Ini terbukti ketika terjadi krisis ekonimi 1997 siapa yang mampu bertahan? UMKM!

Kita tahu bahwa Pemeritah juga mendukung sektor UMKM, melalui up-grading SDM pelaku UMKM dengan pelatihan-pelatihan, aspek permodalan dengan KUR-nya (Kredit Usaha Rakyat), aspek marketing melalui pameran-pameran, patut kita apresiasi. Namun setelah berkembang, apa yang terjadi? Laju UMKM seperti dihadang oleh sistem perpajakan. Kalo boleh saya mengibaratkan, seekor sapi yang kurus, kemudian dilakukan penggemukan, lalu diperah susunya sampai tak berdaya!

Di sini yang ingin saya katakan adalah, bahwa jika kita mempunyai paradigma kreatif dalam mengelola negara, maka:

1. Pajak bukanlah satu-satunya jalan untuk mensejahterakan rakyat, karena toh negara mempunyai ratusan BUMN yang bisa eksplorasi kekayaan Indonesia dengan baik. (Katanya Indonesia negara kaya). Ya minimal kita berorientasi dan berupaya sekuat tenaga agar BUMN mampu memberikan keuntungan yang dominan, atau minimal signifikan terhadap APBN. Supaya elelemen pajak bisa berkurang porsinya di dalam APBN.

2. Melihat kondisi Indonesia yang dari dulu berkembang tak berkesudahan, saya masih sepakat dikenakannya sistem pajak, namun harus manusiawi dan referensi nilai besaran pajak harus dikaji dengan baik. Libatkan pelaku UMKM, atau elemen masyarakat lain dalam kajian untuk menentukan besaran pajak.

3. Buka transparansi penggunaan pajak, agar rakyat tahu kemana uang pajak yang telah dibayarkan. Jangan sampai muncul Gayus-gayus baru, karena ini sangat menentukan kredibilitas dan bonafiditas pemerintah, yang akan melahirkan kepercayaan (trust) dari rakyat. Dengan demikian otomatis resistensi masyarakat terhadap pajak akan tereliminasi.

Semua itu menjadi dasar pola pikir kita berpijak dalam mengelola negara. Saya yakin masih ada banyak variabel penentu kebijakan. Namun saya yakin, jika pijakan kita dan orientasi kita pada kesejahteraan rakyat, pajak menjadi bukan satu-satunya instrumen sumber APBN. Minimal sekian tahun ke depan pajak bisa kita turunkan di level berikutnya di bawah BUMN atau sumber lain. Agar rakyat tidak merasa dihadang dengan sistem pajak.

Saya berfikir simpel, dan membayangkan wacana pajak untuk pembangunan negara, seperti dalam scoop Desa. Seorang Lurah/Kepala Desa menyerukan 'iuran' pada warganya untuk membangun jalan desa atau program lain. Semakin banyak kebutuhan akan pembangunan di wilayah desa tersebut, Kepala Desa pun memungut lebih banyak lagi 'iuran' kepada warganya. Padahal di situ ada potensi usaha warga dalam bentuk BUMDes, misalnya, yang bisa diberdayakan untuk membiayai pembangunan jalan tersebut. Maka bisa menjadi dua pilihan kebijakan; mau mengandalkan 'iuran' warga atau mengandalkan hasil BUMDes? Saya yakin, jika Kepala Desanya mempunyai pola fikir kreatif dan seorang entrepreneur, dia akan mengandalkan BUMDes daripada 'iuran' warga. Meskipun pilihan kedua tidak berarti tanpa iuran warga, tapi 'iuran' warga menjadi alternatif kedua setelah dimaksimalkan usaha BUMDes. Karena menurut saya adanya 'iuran' warga (baca: pajak), rasa memiliki (sense of belonging) warga menjadi tampak, tapi tidak memberatkan.

Saya tidak bermaksud menyederhanakan permasalahan negara yang saya transformasi menjadi permasalahan sebuah desa, dan sekali lagi saya yakin banyak variabel dalam menentukan kebijakan sebuah negara. Tapi minimal dari pola fikir yang simpel ini akan menjadi ruh pola pembangunan negara. Karena dari hiruk-pikuk wacana perpajakan sekarang ini sepertinya telah menyeret kita pada mainstream pola fikir yang melahirkan sistem yang menggantungkan pajak secara total! (Untuk tidak mengatakan peminta-minta pada rakyat).

Nah, sekarang kita bisa menilai, tipikal dan pola fikir yang mana yang lebih keren, pola fikir kreatif atau peminta-minta? ***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun