Kita semua memahami, bahwa dominasi laki-laki benar adanya, bahkan sampai detik ini. Akibatnya banyak kisah perempuan yang tenggelam tanpa pernah didengar. Namun, drama When Life Gives You Tangerines hadir sebagai pengingat bahwa di balik setiap jerih payah seorang perempuan, ada luka, harapan, dan perjuangan yang tak pernah terlihat. Â Menyoroti kehidupan masyarakat Jeju pada tahun 1950-an, drama ini membawa kita untuk membuka mata akan realitas pahit patriarki yang masih relevan hingga kini. Â
1. Marginalisasi Perempuan : Pendidikan Bukan Hak Semua Orang
Oh Ae Sun, adalah tokoh utama dalam drama ini, yang mana seorang gadis yang cerdas dan penuh cita-cita. Ia ingin sekolah tinggi, tekun belajar, dan memiliki kendali atas masa depannya. Namun, realitas berbicara lain. Saat itu masyarakat percaya bahwa pendidikan adalah hak laki-laki, sementara perempuan hanya perlu belajar untuk menjadi istri dan ibu yang baik (domestifikasi perempuan).
Sangat dramatis dan pilu melihat seorang anak yang berkilau penuh impian justru dipaksa meredup karena kondisi sosial yang tidak memihaknya. Bayangkan berapa banyak mimpi perempuan yang gugur bahkan sebelum sempat berkembang? Â
2. Perempuan Sebagai Manusia Kelas 2
Salah satu adegan yang paling menyesakkan dalam drama ini adalah ketika Ae Sun dan Gwan Sik melarikan diri bersama. Keputusan itu adalah keputusan yang disetujui bersama, dan dilaksanakan bersama, namun hukuman yang mereka terima berbeda. Ae Sun langsung dikeluarkan dari sekolah karena dianggap mencoreng moral, sementara Gwan Sik hanya mendapatkan skorsing. Ketidakadilan ini memposisikan perempuan sebagai manusia kelas 2, mengalah adalah bagian dari kodrati dalam sistem patriarki.
Hal ini akhirnya menyadarkan kita bahwa dalam banyak kasus, perempuan sering kali menanggung konsekuensi lebih besar atas keputusan yang juga melibatkan laki-laki. Seolah-olah mereka lebih bertanggung jawab atas kesalahan bersama. Â
3. Stereotip Gender = Pembatasan Perempuan
Ada satu mitos yang berkembang di Jeju bahwa perempuan tidak boleh menaiki kapal karena dianggap membawa kesialan. Ironisnya, Ae Sun adalah orang yang membeli kapal untuk suaminya, namun tetap harus tunduk pada kepercayaan yang mengekang kebebasannya. Â
Seperti dalam kehidupan nyata, perempuan sering kali dihadapkan pada batasan yang dibuat tanpa alasan yang jelas. Mereka dilarang, dibatasi, dan dihakimi atas sesuatu yang bahkan tidak berlandaskan logika.