Kalau di kota sering kali di kenal dengan bodoh amat dengan kehidupan sekitarnya, bahkan untuk tetangga samping rumah mereka sampai tidak saling kenal dari saking sibuknya mengejar pekerjaaan dan pulang untuk tidur dan besoknya bekerja kembali.
Tampak berbeda sekali dengan kehidupan masyarakat Bondowoso, memiliki daerah yang masih tergolong asri, belum berdiri banyak gedung tinggi perkantoran dari saking termasuk kabupaten biasa saja. Memancarkan pantulan cahaya ketenangan bagi pemikiran masyarakat Jakarta pastinya, terhindar dari polusi yang mereka biasa temui.
Masyarakat Bondowoso di desa masih sibuk dengan kegiatan sawah di pagi hari untuk mengecek tanaman dan mengarit rumput untuk sapi di rumah, seolah hal ini adalah rutinitas biasa saja, tetapi di balik ini para ibu-ibu di desa harus menghadapi selimut kegiatan tradisi masyarakat yang harus di lakukan dengan mengeluarkan biaya materi terus menerus padahal pendapatan mereka terkadang hanya cukup untuk makan sehari-hari.
Awal pindah domisili ke kota ini, saya lumayan kaget masyarakat disini di datangi penagih bank setiap hari, setiap Minggu bahkan ternyata mereka tetap sampai berhutang tahunan di bank. Ketika saya bertanya untuk apa uang mereka gunakan sampai harus meminjam ke bank. Mereka menjawab untuk partisipasi pada setiap kegiatan yang ada di desa, baik ada tetangga membangun rumah, melayat orang meninggal, tatelek bayi baru lahir, acara pernikahan, acara orang syukuran, para ibu membawa berbondong-bondong harus membawa gula pasir atau amplop untuk sebagai tanda ikut berpartisipasi. Meskipun kondisi keuangan mepet mereka tetap harus melakukannya karena sudah menjadi tradisi mereka, barang siapa yang tidak mengikuti, maka mereka akan menjadi bahan gibah tetangga.
Ironisnya Tradisi Berujung Hutang Bank
Sebagai orang yang berasal dari daerah kelahiran yang tidak sampai kompleks seberat ini, membuat saya cukup tercengang, tetapi satu sisi hadirnya bank harian dan di tarik seminggu sekali adalah cahaya terang bagi masyarakat Bondowoso, meski sampai harus mirip gali lubang tutup lubang, ketika tidak sanggup membayar hutang di bank A, maka ibu-ibu akan meminjam uang di Bank B untuk membayar di Bank A. Menurut para ibu-ibu desa hal ini adalah suatu yang lumrah, karena jika tidak dengan meminjam bank maka mereka tidak akan cukup untuk sehari-hari maupun untuk partisipasi yang ada.
Saya sempat bercerita dengan penagih hutang bank harian, kata mereka di desa Prajekan kabupaten Bondowoso merupakan salah satu daerah yang memiliki nasabah terbanyak karena pasti mereka akan terus mengambil pinjaman. Setiap penagih bank baru pasti mereka akan mendapat nasabah ketika masuk ke daerah ini.
Selain itu saya saya bahkan sempat menemukan ibu-ibu yang bercerita sudah meminjam uang di bank sudah sejak awal tahun 2000 an karena satu sisi penghasilan suami tidak mencukupi untuk kehidupan sehari-hari di tambah pula dengan partisipasi kegiatan yang ada di masyarakat desa yang memaksanya harus terus gali lubang tutup lubang hutang untuk kehidupannya. Hutangnya seorang diri bisa mencapai belasan juta, data tersebut belum menyatu dengan data hutang masyarakat-masyarakat lain di kabupaten ini.
Bondowoso itu Kawasan Sederhana tapi Sempit dengan Tradisi Masyarakat.
Bayangkan masyarakat desa harus hidup seperti ini seterusnya, ketika hutang di anggap lumrah dan menormalisasikan keseharian hutang, herannya masyarakat juga ada yang menyalahkan pemerintah sebab hutang yang di miliki mereka karena bahan pokok serba mahal, padahal dasarnya yang mereka alami saat ini bermula dari pengeluaran yang di lakukan sendiri.
Tapi, realitanya edukasi yang akan saya berikan nantinya pengenai pengelolaan uang tidak akan memiliki pengaruh perubahan terhadap masyarakat sekitar, kecuali mereka mendapatkan lapangan pekerjaan untuk memperdayakan setiap keluarga, asal dengan catatan mulai mengurangi partisipasi tradisi yang mereka jalankan dengan menekankan konsep hidup apa adanya tanpa ikut gengsi atau takut menjadi bahan gibahan.
Ketimpangan Hidup di Masyarakat Desa
Sekali lagi, kehidupan masyarakat Bondowoso seharusnya memancarkan aura kesederhanaan dengan kotanya yang masih asri, tapi malah di balik layar terdapat belenggu masyarakatnya dengan tradisi yang ada di masyarakat, sistem gali lubang tutup lubang tetap menjadi realitas yang pasti hadir di masyarakat demi menjaga keberlangsungan partisipasi dalam tradisi masyarakat sebagai kegiatan sosial yang terus hidupÂ
Tradisi masyarakat ini seolah menegaskan bahwa berpartisipasi adalah salah satu basic hidup di desa meskipun harus menyempitkan diri dengan hutang, udara segar tak lagi terasa dan malah terasa sesak dan was-was ketika waktu hutang akan di tagih oleh pihak bank.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI