Mohon tunggu...
Nurul Hidayah
Nurul Hidayah Mohon Tunggu... Relawan - Jejak Pena

Menulislah, karena menulis itu abadi. Tinggalkan jejak kebaikan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Terbang Bersama Sayap Takdir

30 Oktober 2020   17:13 Diperbarui: 30 Oktober 2020   17:15 101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Bapak..", aku melambaikan tangan sambil menahan air mataku sekiranya ia tidak keluar. Aku tak mau menjadi anak cengeng. Bapak membalasnya dengan sebuah senyuman penuh makna.

Hari-hariku selama menjadi mahasiswa baru kujalani dengan bahagia dan penuh semangat. Di kampus aku menemukan teman baru, suasana baru, dan kebiasaan-kebiasaan mahasiswa yang masih asing dalam benakku. Kami belajar bersama, berdiskusi, dan mempresentasikan makalah kelompok. Sungguh hal yang berbeda jauh dari apa yang kami bayangkan. Kuliah itu tak sekedar bersantai-santai, akan tetapi kita akan dihadapkan dengan tantangan-tantangan baru yang belum pernah kita temui di bangku SLTA.

Waktu berjalan dengan cepat. Tak terasa aku sudah semester enam, genap tiga tahun kulalui hari-hariku di kota ini. Suka dan duka datang silih berganti. Meski musim mampu menyurutkan sungai, akan tetapi semangat ini tak pernah surut. Setiap kali memandang foto keluarga yang ku tempel di dinding kamar kost. Aku selalu membulatkan tekadku bahwa saat wisudaku nanti kami akan berfoto bersama seperti sebelumnya. Meski anggota keluarga kami tak lengkap lagi, karena Allah terlalu sayang kepada nenek sehingga beliau terlebih dahulu memenuhi panggilan-Nya dengan damai di surga.

Jalan kehidupan memang tak ada yang rata, terkadang kita menjumpai tanjakan, turunan, dan bahkan tikungan serta kerikil-kerikil masalah. Di semester enam ini Allah berbaik hati mengajakku menyusuri tanjakan yang cukup terjang. Namun sayang, kaki ini tak mampu melangkah dengan baik sehingga aku harus merasakan bagaimana sakitnya saat terjatuh.

Masalah datang bertubi-tubi dalam satu waktu. Seperti hujan yang turun deras, menghanyutkan puing-puing perjuanganku. Hatiku telah dibanjiri hujan air mata, potongan-potongan mimpiku terbawa arus, hanyut satu persatu. Aku sering menangis bersama hujan. Kujadikan senja sebagai teman dalam sepiku. Senja menemaniku menanti mentari di balik awan hitam. Akhirnya mentari memelukku dan membawakan hadiah terindah di ujung senja ini. Ialah pelangi senja, yang indah warnanya menghiasai hatiku. Meski hadirnya hanya sesaat dan gelap malam menyelimutinya. Hadirnya pelangi senja sudah cukup membuatku tersenyum dan yakin bahwa keajaiban itu nyata adanya.

"Bapak, Ibuk... Nurul sepertinya sudah tidak mampu lagi melanjutkan langkah ini.", aku mengadukan seluruh deritaku kepada dua sayap yang telah membawaku terbang jauh. Do'a-do'a mereka bagaikan sayap yang mengantarku terbang mengarungi takdirku.

"Nak, tahukah kau bahwa saat padi tumbuh di sawah, maka secara otomatis akan ada rerumputan yang menyertainya. Seperti itulah perjalanan hidup kita. Saat ini kau adalah padi yang sedang tumbuh, menyediakan makananmu sendiri dengan bantuan sinar matahari. Saat ada rumput yang mengusik hidupmu maka itu adalah salah satu ujian, beberapa kuat dan seberapa besar kesabaranmu dalam menghadapi cobaan."

Bapak mencoba mengajakku memahami filosofi kehidupan padi. Aku menyimaknya dengan baik, ku pasang kedua telingaku agar jangan sampai ada informasi yang terlewatkan.

"Semakin berumur, padi akan semakin merunduk. Mungkin kamu sebagai pemuda terkadang lengah dan cenderung mendongakkan kepala. Sehingga angin mengusikmu, membuat hatimu terombang-ambing. Maka tata kembali niatmu, berbenah diri dan selalu menggantungkan segala urusan hidup kepada Sang Pencipta."

Ada benarnya juga kalimat Bapak yang terakhir ini, sepertinya aku sedikit lengah. Lebih suka menyibukkan diri dengan urusan dunia, dan hatiku telah dibutakan oleh gemerlapnya dunia. Tangisku semakin membanjiri relung hati. Begitulah cara Bapak menasihati kami. Dengan bahasa yang halus, penuh perumpamaan, namun berhasil mengetuk pintu hati nurani kami.

"contohlah padi, Nak! Untuk menjadi nasi yang bermanfaat untuk orang lain, dia harus menjalani takdir hidupnya yang cukup panjang. Setelah pari siap dipanen, para petani akan memotongnya dengan sabit atau alat lain yang sangat tajam. Lalu pari itu akan dipukul-pukul sehingga keluar butiran-butiran gabah. Perjalan duka lara padi pun belum selesai sampai di sini saja. Gabah itu pun dijemur di bawah paparan terik matahari selama beberapa hari. Coba bayangkan, dia sekalipun tak pernah mengeluh, dia ridho dengan takdir Tuhannya. Untuk menjelma menjadi beras, dia harus rela diselep dan dikuliti hingga menghasiltas butir-butir beras yang bersih. Dan untuk menyulapnya menjadi nasi, beras tadi harus bersabar direndam dalam air mendidih selama beberapa menit."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun