“Karena hujan membawa banyak ingatan di masa lampau, dan juga akan membawa ingatan tentang kita,” kataku.
“Tapi, ia juga akan memberimu ingatan yang memang ingin kamu lupakan, atau rindu yang teramat sangat pada sesuatu yang tak mampu kau gapai hingga rasanya kau ingin menghentikan hujan,” Kau menjawab sambil menatap kosong tetesan hujan yang turun dari atap kampus kala itu.
“Hmm, mungkin,” kataku.
Saat itu, rasanya kalimatmu terlalu indah untuk dibayangkan dan hanya mampu untuk kudengarkan lembutnya suaramu diiringi suara hujan. Kau yang terlalu cuek, hingga setiap kata yang kau ucap rasanya adalah melodi yang sangat langka bagiku. Oh kalimatnya terlalu manis dan juga kau.
Entah sudah berapa kali kau mengejutkanku dengan beragam kalimat puitis acuhmu. Yang bagiku seperti hujan, mengalir, menghanyutkan dan tentu saja dingin. Uhh.
***
Pikiranku masih saja terbawa dalam tetesan hujan minggu pagi. Rasanya ingin sekali meluapkan segala resah dan keruwetan pikir dan hati minggu ini. Namun, kau terlalu jauh. Terlalu jauh barang hanya kugapai. Orang bilang dunia itu sempit, hanya seperti daun kelor. Namun kau pernah bilang, bahwa dunia itu terlalu luas, terlalu sulit dijangkau untuk hati yang telah beralih ke hati yang lain. Ah entahlah.
“Kita udahan aja. Kita jalani hidup kita masing-masing saja dulu,” katamu waktu itu.
Entah sudah berapa kali pertengkaran-pertengkaran kecil selalu terjadi. Saling diam. Dan akhirnya menghindar. Dua hati dan pikiran telah menemui titik jenuh dan batas. Batas yang dirasa tak lagi bisa ditembus bersama. Entah. Rasanya ego kita terlalu besar untuk saling dibagi bersama. Dan akhirnya kalimat singkat itu terucap olehmu. Kita udahan aja.
Waktu terasa berhenti seketika. Rasanya setiap pembuluh di jantungku mendadak sakit. Aku hanya berpikir, ini mimpi kan?. Kau masih saja terdiam. Namun yang kutahu, matamu juga ikut berkaca-kaca.
“Al..,” Aku tak mampu melanjutkannya. Kelu rasanya bibir ini.
“Sepertinya kita harus rehat dulu,” katamu
Kamu masih saja menatapku yang masih saja tertunduk. Mata ini terlalu berat untuk menatap kenyataan yang akan terjadi.
“Hati dan pikiran kita terlalu sakit, An,” lanjutmu.