Mohon tunggu...
Nurul Firmansyah
Nurul Firmansyah Mohon Tunggu... Advokat dan Peneliti Socio-Legal -

https://nurulfirmansyah.wordpress.com/

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Pendaftaran Tanah Ulayat atau Konversi Hak

21 Oktober 2018   21:44 Diperbarui: 21 Oktober 2018   21:58 2234
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(Kajian atas Mekanisme Pendaftaran Tanah Ulayat Dalam Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Barat Tentang Tanah Ulayat dan Pemanfaatannya) [1]

1. Kontoversi Pendaftaran Tanah Ulayat

Soal pendaftaran tanah ulayat yang menghasilkan sertipikat tanah ulayat telah menjadi kontroversi sejak lama di Sumatera Barat. Pihak yang menolak mencurigai bahwa pendaftaran tanah ulayat menyebabkan hilangnya sifat komunalitas atas tanah ulayat. Bahkan akan menghilangkan keberadaan tanah ulayat karena beralih menjadi tanah dengan hak-hak individu.

Pendaftaran tanah yang dibuktikan dengan sertipikat, misalkan pada tanah ganggam bauntuakdipandang sebagai proses individualisasi tanah ulayat yang semula merupakan milik komunal. Padangan ini didukung dengan argumentasi Van Vallenhoven[2]yang menyatakan bahwa hak ulayat (beschikingsrecht) sebagai hak yang mandiri.[3] Sebagai hak yang mandiri, tanah ulayat yang pengelolaannya didasarkan pada hukum adat sudah cukup menjadi pegangan dalam mengatur pemanfaatan tanah ulayat bagi anggota masyarakat adat dan bagi pihak lain.

Pengelolaan tanah ulayat sebagai hak yang mandiri di Minangkabau diperkuat dengan kemandirian komunitas yang tergambar dalam ungkapan "adat salingka nagari". Ungkapan ini mempertegas konsepsi otonomi masyarakat adat, dimana pengaturan ulayat yang berdasarkan hukum adat merupakan sistem hak yang berlaku pada ruang lingkup wilayah nagari.

Pepatah ini juga menegaskan bahwa tanah ulayat bukanlah ruang yang kosong dari aturan. Seluruh aspek yang terkait dengannya, telah diatur oleh norma adat secara pasti, sehingga tidak diperlukan lagi sertipikat sebagai bukti kemandirian hak atas tanah ulayat.

Sedangkan  disisi lain, pihak yang mendorong pendaftaran tanah ulayat mengharapkan agar tanah ulayat memiliki pengakuan hukum dari negara sehingga memiliki kepastian hukum. Pilihan pengakuan dalam bentuk sertipikat menjadikan tanah ulayat lebih leluasa dimanfaatkan bagi kepentingan ekonomi karena memiliki landasan hukum keperdataan yang lebih kuat.

Bahkan Pasal 32 ayat (1) PP No. 24/1997 menyatakan bahwa sertipikat "berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat." Sertipikat selain menunjukkan kepastian pemegang hak atas tanah juga memberikan kemudahan mengukur secara kuantitatif nominal harga tanah karena menyediakan data-data fisik tentang tanah. Sebagai alat ekonomi, sertipikat juga dapat dianggunkan ke bank untuk mendapatkan sejumlah pinjaman.

Bahkan hasil penelitian Tim Perumusan Ranperda Tanah Ulayat pada tahun 2001 menemukan bahwa dari 400 orang yang diwawancarai, 295 orang atau 73,75 persen sepakat agar tanah ulayat dapat disertipikatkan. 80 orang atau 20,00 persen yang tidak sepakat dan 25 orang atau 6,25 persen yang tidak menjawab.

Fenomena ini harus dibaca sebagai keterbukaan masyarakat Minangkabau atas nilai-nilai yang berkembang diluar masyarakat Minangkabau, seperti sertipikat, dengan tetap memegang tradisi yang diwariskan oleh nenek moyang.

Dalam praktik, selain sertipikasi, ada bentuk lain pengakuan hukum atas hak-hak masyarakat adat. Di Kabupaten Lebak, Banten misalnya, pengakuan dilakukan dengan Penetapan Hukum melalui Perda No. 32/2001 tentang Perlindungan Atas Hak Ulayat Masyarakat Baduy.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun