Mohon tunggu...
Nurul Fatma
Nurul Fatma Mohon Tunggu... Penulis - Freelancer Script Writer

Tulisan membuat dirimu ADA

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Alasan Cancel Culture Pantas dalam Kasus Saipul Jamil

12 September 2021   01:28 Diperbarui: 12 September 2021   01:32 850
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Viral. Sumber ilustrasi: PIXABAY/ktphotography

Apa cuman saya yang merasa malu dengan fenomena "Saipul Jamil" ini?

Tentu saja tidak! Dengan begitu banyak orang yang akhirnya ikut dalam aksi boikot Saipul Jamil, mantan narapidana kejahatan seksual hadir di televisi. Polemik dan perdebatan atas boikot ini bermula dari indahnya sambutan seorang mantan narapidana kejahatan seksual saat keluar dari penjara, lalu besoknya langsung muncul di televisi dengan menjual simpati masyarakat selama kehidupannya di penjara. Kegilaan ini di notice oleh masyarakat dan tak bisa tinggal diam ketika glorifikasi dan menjual kesedihan membuat perbuatannya yang lalu seolah-olah dilupakan.

Jika pihak yang bersorak tentang kesempatan kedua seorang mantan narapidana, tentu saja saya pribadi pun setuju. Tetapi ada satu lingkaran besar dari sekedar kesempatan kedua bagi predator yaitu tanggung jawab moral. 

Mengapa kata-kata kotor disensor di media televisi? agar tidak dicontoh oleh anak-anak

Mengapa adegan kekerasan tidak ditampilkan di televisi? karena ketakutan perilaku tersebut akan dicontoh dan jadi pemakluman di masyarakat

Semua hal yang buruk dibatasi untuk mencegah keburukan itu lumrah di masyarakat.

Lalu bagaimana dengan kasus Saipul Jamil ini? 

Pemboikotan yang banyak dilakukan masyarakat dan didorong dari gerakan publik figur yang terlebih dahulu memboikotnya, semata-mata tak ingin membiarkan pemakluman pada pelaku kejahatan seksual yang mana akan menimbulkan narasi "Sepertinya di negri ini ternyata pelaku kejahatan seksual bisa kembali menjadi publik figur, bisa kembali digemari, berarti kejahatan yang dia lakukan bisa dimaklumi ya..." Ketika kejahatan menjadi hal yang lumrah, bisa-bisa tindakan kejahatan tidak dianggap sebagai suatu kesalahan. Sebelum itu terjadi, seharusnya fenomena tersebut harus dicegah.

Kesalahan  dalam kasus ini adalah berita buruk dalam framing yang positif. Istilah "bad news is a good news" adalah jualan sehari-hari media-media di Indonesia. Sesuatu yang buruk, entah itu bencana, skandal artis, skandal pejabat, menjadi berita yang paling menjual sehingga menjadi bahan yang asik untuk dilempar ke masyarakat. Mereka hadir dalam frame yang senyawa dengan berita tersebut, yaitu dalam sisi frame bad news. Tetapi dalam kasus ini, bad news in a good frame. Darimana berita baiknya pelaku kejahatan seksual keluar dari penjara? Tetapi mereka mengemasnya seolah-olah dia disambut bak pahlawan, lalu muncul artikel-artikel lain yang menjual kesedihan seorang pelaku. Api besar ini pun bergulir di masyarakat. Tak bisa diam melihat kebobrokan ini, pilihan masyarakat untuk menghentikan semua ini jatuh kepada aksi boikot salah satunya dalam petisi online.

Jika kita bandingkan dengan negara lain, seperti Korea Selatan, memperlakukan predator seks tidak hanya dalam koridor hukuman pidana juga sanksi sosial. Apalagi pelaku merupakan publik figur, tidak ada tempat lagi baginya di ruang publik. Kesadaran masyarakat tentang beratnya isu kejahatan seksual sampai pada tahap dikucilkan dimasyarakat. Bahkan ketika mereka bebas dari penjara, mereka dipakaikan gelang pelacak untuk mencegah tindakan yang sama yang dapat menimbulkan korban baru. Kita bandingkan dengan kasus aktor Jisoo yang terjerat skandal perundung dan isu pelecehan saat dia sedang menjalankan syuting drama "River When The Moon Rises" masyarakat malah menyuarakan untuk menghentikan segala tayangan yang menampilkan aktor tersebut. Stasiun tv mengatasinya dengan memotong bagian aktor tersebut dan menggantinya dengan aktor yang lain. 

Aksi masyarakat untuk pemboikotan merupakan kesadaran mereka atas moral yang harus dipertanggung jawabkan seorang publik figure di ruang publik. Tindakan permisif yang selama ini terjadi di stasiun tv mesti ditindaklanjuti. Jika payung hukum belum memadai maka kesadaran sosial dan tindakan ini boikot adalah pilihan untuk mengawal tindakan tersebut. Masyarakat sesungguhnya memboikot kemunculannya di televisi karena hal tersebut menyangkut orang banyak bukan memboikot kehidupan seseorang. Masyarakat sudah terlalu lelah didikte dengan hal-hal yang dramatisir, simpati dan kesedihan personal. Masih ada banyak hal yang bisa dinikmati mengapa harus mendapatkan hal tersebut. Oleh karena itu Cancel Culture hadir dalam berbagai situasi dengan alasan pertangungjawaban dalam urusan orang banyak. 

Lalu, Saipul Jamil berlabuh pada media Youtube untuk mempertahankan pamornya sebagai publik figure. Jika sudah ranah Youtube, saya pun tak setuju adanya pemboikotan. Bisa dibilang Youtube adalah ruang pribadi yang kita ekspose ke dunia maya. Saipul Jamil masih mendapat dukungan dari para subsciber Youtube-nya. Masyarakat tak punya hak untuk menyerang ruang pribadi-nya untuk membuat karya dan konten. Berbeda dengan televisi yang mana sebuah media massa yang menyangkut banyak orang dan memiliki audience yang umum. 

Jika aksi pemboikotan dikeluhkan karena hak asasi manusia, rasanya tak tepat teriakan itu ketika ada solusi yang dapat memenangkan kita semua. Televisi bukan satu-satunya cara untuk tampil saat ini. Banyak media lain yang bebas yang bisa mempertemukan dia kembali dengan fansnya. Dia masih punya jalan lain untuk menyambung hidup, untuk itu merengek tentang hak asasi manusia hanya akan membuatnya gulir api semakin panas. 

Cancel Culture akan terus ada, apalagi keberhasilannya melawan sebuah kasus. Cancel culture seakan menjadi tuas baru bagi masyarakat untuk mengawal gelut dan carut marut publik figure, baik skandal artis, pejabat dan drama politik di Indonesia. Aksi ini tentunya akan menibulkan dampak positif negatif yang akan dibahas pada artikel lain. Menurut saya, Cancel culture akan menjadi kekuatan baru, pembelajaran baru, dan suara masyarakat yang terkadang dibungkam. 

Itulah pandangan saya mengenai cancel culture atau pemboikotan pada kasus Saipul Jamil ini untuk memberi opini yang lebih beragam. Kalau menurut anda bagaimana? 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun