Oleh :
Syamsul Yakin dan Nurul El Sahira Choiry
(Dosen dan Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)
Imam Al-Ghazali, seorang pemikir Islam terkemuka, memiliki pandangan yang mendalam tentang dakwah politik, yang mengintegrasikan prinsip-prinsip agama dengan praktik politik. Sebagai tokoh pemikiran politik Islam Sunni masa klasik, Al-Ghazali adalah tokoh yang kehidupannya begitu lekat dengan berbagai Gerakan religious dan politik yang saling bertentangan pada masanya. Bahkan Ketika Al-Gazali masih bersama dengan kekuasaan, tidak ada satupun Keputusan politik pemerintahan yang tidak melalui dirinya.
Pemikiran politik Islam Sunni masa klasik mengalami dinamika dan perkembangan, dari tema yang bersifat idealis, misalnya sebagaimana tampak dalam pemikiran politik Al-Farabi menjadi bertema realis seperti tergambar dalam pemikiran politik Al-Ghazali.
Begitu pula dalam tema hubungan agama dan kekuasaan, pada awalnya bersifat integratif, seperti terlihat dalam pemikiran politk Al-Juwayni, kemudian mengalami perkembangan dalam pemikiran politik Al-Ghazali menjadi bersifat symbiosis. Namun dalam pemikiran politik Islam Sunni tema mengenai pola hubungan anatar penguasa dan rakyat tidak berubah, tetapi bersifat kontraktual, setidaknya hingga masa Al-Ghazali.
Sebagai seorang realis Al-Ghazali mengajukan justifikasi dan legitimasi terhadap pemerintah Abbasiyah dan Saljuk. Hal itu dilakukan Al-Ghazali karena ingin menenalkan suatu pendekatan realistik dalam melakukan rekonsilasi antara indentitas agama dan realitas penyelenggara negara, di samping kehendaknya untuk mempertahankan eksistensi negara dan kekuasaan.
Untuk mempertahankan eksistensi negara dan kekuasaan, Al-Ghazali memberikan justifikasi dan legitimasi terhadap Al-Mustazhir, khalifah Abbasiyah ke-28 yang baru berusia enam belas tahun. Ia menolak syarat-syarat bagi khalifah yang ditetapkan oleh mayoritas pemikir politik Sunni, seperti Al-Mawardi dan Al-Juwayni.
Akibatnya, Al-Ghazali dikecam oleh cendekiawan dari kalangan Sunni sendiri dan juga Syi’ah karena banyak melakukan konsesi (kelonggaran). Konsesi Al-Ghazali dalam hal syarat-syarat khalifah, teknik pengangkatan kepala negara, pola-hubungan khalifah dan sultan mengundang perdebatan sejumlah cendekiawan pada masa selanjutnya.
Dalam realitas politik, Al-Ghazali megembangkan pola hubungan antara agama dan kekuasaan menjadi bersifat symbiosis untuk tujuan politik-pragmatis, tepatnya untuk membangun komunikasi politik yang harmonis antara Abbasiyah sebagai pemangku kekuasaan de jure (spiritual-keagamaan) dan Saljuk sebagai penguasa de facto (pemegang kendali kekuasaan).