Mohon tunggu...
Nurul Jubaedah
Nurul Jubaedah Mohon Tunggu... Guru - Teacher, writer, traveler, vloger

“Semua orang akan mati kecuali karyanya, maka tulislah sesuatu yang akan membahagiakan dirimu di akhirat kelak". Ali bin Abi Thalib

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Netizen di Era Digital: Ibarat Dua Mata Pisau

15 April 2022   17:16 Diperbarui: 15 April 2022   17:20 681
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

NETIZEN DI ERA DIGITAL : IBARAT DUA MATA PISAU 

(Nurul Jubaedah, S.Ag.,S.Pd.,M.Ag,  guru SKI di MTsN 2 Garut)

Kata netizen merupakan singkatan dari citizen of the net (warga internet). Netizen mengandung makna seseorang yang aktif terlibat dalam komunitas maya atau internet pada umumnya yang aktif dalam berkomunikasi, mengeluarkan pendapat, berkolaborasi, di media internet. Pengguna aktif di instagram, youtube, twitter, whatsapp, blogger, telegram, facebook,  tik tok dan aktivis media sosial lainnya termasuk dalam kategori netizen. Jika seorang user hanya sesekali membuka internet, misalnya hanya menerima/membaca email, maka bekum bisa disebut netizen.

Di era digital saat ini, akibat cepatnya perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan, termasuk didalamnya perkembangan ilmu-ilmu sosial kemanusiaan serta media dan teknologi informasi komunikasi yang begitu pesat terutama media sosial secara relatif mendekatkan jarak perbedaan budaya antara satu wilayah dengan wilayah lain. Maka dari itu, pada tahun 2009 media sosial menjelma menjadi sarana informasi yang cukup potensial di Indonesia (Fahmi, 2011). Naiknya pengguna media sosial di Indonesia berlaku pada aplikasi jejaring situs pertemanan dan informasi. Dalam hal ini, hampir setiap masyarakat di Indonesia mempunyai dan mengakses media sosial yang ada. Media sosial ini juga bermacam-macam antara lain Facebook, Twitter, Instragram, Path, dan lain sebagainya (Nurudin, 2012)

Adanya kebebasan dalam menggunakan media sosial di era digital saat ini semakin membawa dampak negatif bagi netizen yang kurang bijak dalam menggunakannya. Misalnya, dalam berkomentar di akun media sosial, kebanyakan netizen selalu melanggar dari prinsip kesantunan berbahasa. Padahal sudah jelas bahwa kesantunan berbahasa perlu di patuhi oleh semua orang tanpa terkecuali. Tujuannya yaitu untuk menghargai lawan berbicara. Jika dicermati lebih dalam lagi, pelanggaran kesantunan berbahasa dalam komentar di media sosial banyak di antaranya yang selalu menyimpang dan memecahbelah persatuan warga internet dari kaidah kesantunan berbahasa salah satunya adalah ujaran kebencian (Hate Speech).

Ujaran Kebencian (Hate Speech) merupakan bentuk penghinaan (Wolfson, 1997). Dimana biasanya ujaran kebencian ini berawal dari sebuah kemarahan atau kekecawaan seseorang terhadap suatu hal. Kepala Polisi Republik Indonesia (Kapolri) menerbitkan Surat Edaran Kapolri Nomor: SE/6/X/2015 tentang Penanganan Ujaran Kebencian (Hate Speech), bentuk-bentuk hate speech antara lain: 1) Penghinaan, 2)  Pencemaran nama baik, 3) Penistaan, 4) Perbuatan tidak menyenangkan, 5) Memprovokasi, 6) Menghasut, 7) Penyebaran berita bohong.

Undang-Undang mengenai Etika Berpendapat di Media Sosial. Kaidah perlindungan kehormatan setiap orang dilekati dengan sanksi pidana, selain dari ketentuan KUHP ada juga ketentuan-ketentuan normatif di luar KUHP. Salah satunya adalah UU ITE. Berdemokrasi di dunia virtual khususnya diatur dalam UU ITE Pasal 27 ayat 3 yang berbunyi “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan membuat dapat diakses sebagai informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang emiliki muatan penghinaan atau pencemaran nama baik”.

Secara sederhana UU Pasal 27 Ayat 3 mengatur tentang pencemaran nama baik, yang mana merugikan salah satu pihak. Sehingga dengan adanya UU ITE sebaiknya berpendapat di media sosial hendaknya beretika yang baik, jika perkataan yang ditulis membuat orang lain merasa dirugikan hal tersebut dapat dilaporkan dan diproses secara hukum. Namun UU ini juga disebut pasal karet yang mana memang beberapa hal kontroversi karena penilaiannya secara subyektif sebab bagi orang tertentu dirasa sebagai pencemaran nama baik, tetapi belum tentu bagi orang tersebut dianggap sebagai pencemaran nama baik. Namun dengan adanya UU ITE sedikit mendorong etika berpendapat yang baik karena jera atau takut terhadap sanksi pidana.

Berdasarkan paparan di atas maka saya berpendapat bahwa netizen itu terbagi menjadi dua yang pertama adalah netizen yang bijak (wise netizen) dan yang kedua adalah netizen beracun (toxic netizen). Wise netizen adalah netizen yang berada di jalur yang benar,  menggunakan komentarnya dengan bijak, memiliki moral, bersikap positif, komentarnya menyejukkan, memberikan wawasan, dan memberikan tuntunan, sedangkan toxic netizen adalah netizen yang melakukan penghinaan, pencemaran nama baik,  penistaan,  perbuatan tidak menyenangkan,  memprovokasi,  menghasut,  menyebarkan berita bohong.

Setelah kita mengetahui tentang makna dan jenis netizen maka jika kita ingin menjadi warga Indonesia yang baik menurut Apandi (2015 : 36) akan pandai mengendalikan diri, memiliki kedewasaan berpikir, mampu mengambil keputusan yang bijak, memiliki visi hidup yang kuat, memiliki motif berprestasi, mampu beradaptasi dengan lingkungan, pekerja keras, ulet, menyukai tantangan, mampu bekerja sama, mampu membangun interaksi, komunikasi, relasi yang baik dengan orang lain, dan mampu membangun jejaring dalam mengembangkan usaha atau karier karena kesuksesan tidak bisa dilakukan seorang diri, tetapi membutuhkan kemitraan dengan pihak lain.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun