Mohon tunggu...
dodo si pahing
dodo si pahing Mohon Tunggu... Buruh - semoga rindumu masih untukku.

Keinginan manusia pasti tidak terbatas, hanya diri sendiri yang bisa mengatur bukan membatasi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Ternyata Dendamku Masih Ada hingga di Persimpangan Jalan

23 Oktober 2021   16:00 Diperbarui: 23 Oktober 2021   17:19 332
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi:  soundcloud.com/kurniawan-hartanto

Pagi-pagi Sarno masih berselimut sarung kesayangan yang sudah lusuh dan kisut namun katanya jika tidak tidur tanpa sarung itu dirinya akan bermimpi buruk.  

Dirinya masih di atas dipan kayu setelah sholat Subuh di mushola, keheningan yang biasa dimilikinya harus sedikit terganggu. Ketika tanpa  ada salam atau panggil-panggil tiba-tiba istrinya langsung teriak dari luar halaman rumah. Seperti ayam yang kehilangan anakannya teriaknya membisingkan seluruh isi rumah. Seandainya dipan yang buat tiduran Sarno ada jantungnya  pasti akan kaget bahkan akan loncat.  

"Pak...Pakne Hudi," Suara Sarni istri Sarno melengking. Untung rumah mereka diujung dukuh dekat sawah. Sarno bayangkan saja kalau dirinya tinggal di rumah kontrakan di kota pastilah tetangga-tetangga akan melongok dari rumahnya.

Sarno segera duduk meskipun hanya tidur-tiduran tetapi kalau istrinya sudah teriak-teriak seperti itu tindakan yang paling benar adalah mengubah posisinya untuk segera memperhatian kata-katanya. Belum saja Sarno menolehkan kepalanya istrinya sudah memberi titah.
"Segera tengok Pak Ingggi," kata istrinya seperti perintah panglima perang, "jangan lupa juga bawa parem yang biasa untuk urut itu."

Sarno hanya memandangi istrinya yang berlalu dan  masuk ke dapur tanpa berkata sepatah kata. Setelah itu, Sarno mendengar Sarni sibuk mengerjakan sesuatu. Klontang...klonteng... suara gerabah yang beradu setelah itu terdengar peralatan untuk menumbuk jamu jelas terdengar, tidak berapa lama istrinya menghampiri dirinya yang masih di dipan dengan mata yang masih suntuk. 

Menyadari istrinya sudah berada di sampingnya dengan tangan dilipat di dada segera saja ia masuk ke tempat biasanya, mengambil peralatan urut.

Sarno paham sekali jika istrinya sudah bersikap 'sempurna' seperti patung Gladak Solo maka semua orang harus tunduk, termasuk dirinya. Alamat perang besar  jika kemauan istrinya tidak terpenuhi.  

"Nyi, aku pergi dulu."
"Ya... ." hanya kata itu yang terdengar oleh Sarno.  Tidak ada basa-basi lagi kadang-kadang dirinya bosan dengan keseharian yang seperti es, dingin. Namun, sepertinya tida ada lagi yang harus dilakukakannya selain menjalani sisa-sisa usianya. Toh anaknya Sunarni sudah menikah dan  mempunyai anak, alias dirinya sudah menjadi kakek. Rasanya tidak elok kalau kakek-kakek harus memberi contoh keluarga berantakan.

Dirinya kenal Sarni karena namanya hampir sama. Sarno dan Sarni hanya beda huruf vocal i. Karena hampir sama nama itulah dirinya selalu dicomblangi teman-temannya. Apalagi kebisaannya meramu tumbuh-tumbuhan untuk dijadikan jamu yang dimiliki Sarno juga dimiliki oleh Sarno hanya saja Sarni tidak mempunyai kecakapan untuk mengurut dan mengobati.

Kalau ingat saat remajanya Sarno hanya tersenyum di kulum, meskipun galaknya seperti nenek lampor tetapi sangat baik dan yang pasti cantik. Dalam hati Sarno pun ada jamur-jamur cinta seperti di musim hujan. Namun sebagai anak desa semua ungkapan cinta tidaklah mudah untuk dikatakan. Mungkin orang tuanya tahu hal asmara. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun