Mohon tunggu...
dodo si pahing
dodo si pahing Mohon Tunggu... Buruh - semoga rindumu masih untukku.

Keinginan manusia pasti tidak terbatas, hanya diri sendiri yang bisa mengatur bukan membatasi.

Selanjutnya

Tutup

Foodie Pilihan

Lidahku Kok Kagok, Ya... Makan Jajangmyeon, Malah Ingat Kang Jajang

6 Maret 2021   14:09 Diperbarui: 6 Maret 2021   14:16 1168
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi : sehatq.com

Lidah tidak bisa tergoda oleh cita rasa makanan yang aneh. Kalau mata mungkin bisa dikelabui oleh warna yang memikat dan tampilan yang menyenangkan dari suatu sajian makanan. Memang dari matalah semua keinginan perut untuk merasakan makanan yang berwarna warni bahkan terlihat memanjakan selera. Karena persis ketika melihat makanan yang ingin sekali mengunyahnya itu seperti pepatah lama, dari mana datangnya makanan yang lezat? Dari koki ahli turun ke bawah hati.  Bawah hati pastinya saja si perut.

Tidak hanya mata yang mendatangkan keinginan mencicipi makanan, bahkan dari telinga pun bisa merangsang si bagian otak yang mengurusi keinginan makan pun datang. Dari  dengar-dengar inilah mucul rasa penasaran yang akibatnya pun jelas ingin mengajak kaki menuju restoran yang menyediakan menu yang terdengar aneh dan sepertinya kata orang-orang enak. Begitu kira-kira bisikan di telinga.

Tentu saja menu yang diingini berbeda dengan masakan yang sering dicicipi  tiap harinya. Kalau biasanya menu yang ada di meja makan adalah sayur bening dengan ayam goreng, sambal tomat, tempe maka setelah mendengar  makanan dari negeri Gingseng seperti;  Kimchi, Bibimbap, Bulgogi, Kimbap, Tteobokki, Samgyetang keinginan untuk merasakannya pasti ada.

Setelah kenikmatan mendengar terpenuhi, kenikmatan mata melihat sajian Korea juga sudah ada maka tinggal lidah yang punya rasa indera pengecap. Di lidah semua makanan akan diterima manis, pahit, asam, asin, bahkan kombinasi rasa itu. Jika enak maka rasa itu akan dikirim ke bagian-bagain tubuh yang tidak bisa merasakannya. Kalau pedas maka langsung bagian mata berkerjap-kerjap atau merem melek, kalau asin, manis, tanggapann yang diterima tubuh pun akan berbeda.

Sajian makan Korea Kimchi misalnya, yang di dominasi oleh sayuran kol hanya akan memberi kesan aneh di telinga orang yang belum pernah mendengar kata-kata jenis masakan. Namun ketika lidah bertemu rasa yang di dominasi manis khas dari kol maka jelas imej yang masuk adalah rasa yang asing. Kemudian akan membandingkan dengan masakan yang pernah  ada di Indonesia. Dan tentu saja ketemu, kaya masakan nenek saya ketika sepulang dari sawah kemudian memasaknya hanya diberi santan tetapi ada tahu dan tempenya. Sayur oseng-oseng namanya, meskipun lebih ke India kiblat masakan oseng-oseng ini tetapi bahan yang disajikan nenek saya dulu ya gitu di dominasi oleh sayur kol.

Lidah tidak Pernah Bohong
Jikalau lidah kompasianer sudah berusia lebih dari 50 tahun pasti tetap akan menaruh resep yang dibuat oleh nenek kemudian diturunkan ke ibu terus sekarang dipakai oleh sang istri adalah yang terenak di dunia. Kalau pun suatu saat diajak oleh anak atau kerabat ke restoran khusus Korea atau restoran yang menyajikan masakan dari seluruh penjuru dunia pasti yang akan ditanyakan adalah masakan asal dari daerahnnya. Kalau dari Jawa akan ditanyakan Gudeg, kalau dari Padang akan ditanyakan Rendang kalau dari Sulawesi akan ditanyakan Cotonya.

Keinginan untuk kuliner masakan dari luar negeri  terutama Korea untuk saat ini bisa dikatakan hanya coba-coba. Untuk harian tetap saya pilih Soto, pecel, gudeg, atau kepala manyung, dahulu pernah juga pingin sajian yang dipesan oleh anak saya yang katanya dari makanan dari Korea Jajangmyeon. Setelah datang, " lha kok mie ayam," kata saya. Malah ditertawakan anak saya. Tidak apalah yang namanya orang penasaran lebih baik menghilangkannya daripada kebawa hingga tidur  malah makan bantal dikira si jajangmyeong.

Mungkin lidah kalau sudah kagok dengan makanan waktu kecil  saat dewasa bahkan dewasa pun makanan yang enak ya apa yang sering dimakan waktu kecil. Ingin mengubahnya? Bisa saja karena tempat dan keadaan yang tidak memungkinkan maka mau tidak mau harus bisa menikmati makanan yang tersedia di depannya. Misalnya saja orang Indonesia yang sedang berada di Korea mau tidak mau harus bisa menyesuaikan lidahnya dengan makanan khasnya

Sekadar Mencicipi Makanan Korea  
Alamat kelaparan kalau tidak bisa menyesuaiakan makanan tempat kita yang baru. Dan kebetulan juga sangat jauh dari pasar  Puri Pati misalnya, maka pilihan yang ada adalah cara yang sagat bijaksana agar asupan gizi terpenuhi. Karena menu hanya selera, bukankah para ulama pernah berkata makanlah secukupnya. Atau ada aturan makanlah gudeg secukupunya, makanlah nasi rending secukupunya. Tidak ada kekhususan harus makan apa hanya cukup, gitu saja.

Dan yang paling saya ingat adalah makanan itu harus halal dan toyibah. Saat  itu saya masih belum bisa beli sate kambing dan sekaligus gula. Hanya melihat saja ketika melihat seseorang yang makan nasi dengan sate dan gulainya, namun kini setelah bisa beli sate dan gulainya kata dokter harus dikurangi kalau bisa jangan makan lagi. Mungkin sate dan gulainya halal namun selanjutnya toyibah itu yang membuat berpikir-pikir lagi.

Kalau hanya mencicipi makanan Korea yang kayak mie ayam itu mungkin boleh ya, sekali-kali kayak makan sate dan gulai.  Atau membeli mie ayam khas Indonesia sebagai cinta produk Indonesia dengan mengganti namanya ala-ala Korea gitu. Boleh kan?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun