Mohon tunggu...
dodo si pahing
dodo si pahing Mohon Tunggu... Buruh - semoga rindumu masih untukku.

Keinginan manusia pasti tidak terbatas, hanya diri sendiri yang bisa mengatur bukan membatasi.

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Pilihan

Kampanye Virtual hingga Pemilu Online, Mengapa Tidak?

28 September 2020   20:53 Diperbarui: 28 September 2020   21:05 107
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi : mnctrijaya.com

Pengumpulan masa adalah cara yang paling efektif untuk menyuarakan program, visi, misi, dan tentu saja pembagian voucher-voucher sebagai bumbunya adalah musik. 

Orang-orang akan datang dalam suatu keramaian pastilah menginginkan balasan.  Bisa berupa tersampaikannya  aspirasi dan ada timbal balik berupa materi yang didapat. Cara seperti ini dirasa masih efektif hingga sekarang. 

Sehingga dengan cerdiknya para pemilik modal atau  orang-orang yang mempunyai kepentingan akan mengumpulkan massa kemudian menyampaikan hajatnya. Setelah usai pengumpulan massa tinggal kalkulasi kemungkinan visi dan misinya dapat diterima atau tidak.

Pemilu di Indonesia  telah diselenggarakan 12 kali,  pada tahun 1955, 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997, 1999, 2004, 2009, dan 2014, dan 2019.   Dan sepanjang sejarah pemilu itu pastilah acara yang paling ditunggu adalah masa kampanye.

Tidak terkecuali masa Pilkada secara serentak pada tahun ini meskipun dalam skala lokal, namun gesekan-gesekan di akar rumput akan lebih kuat. Karena kefanatikan jauh lebih terasa daripada pemilu nasional yang sudah 12 kali diadakan tersebut.

Kefanatikan itu jelas terlihat manakala Paslon datang untuk mendaftar ke KPU. Pendukung berdatangan, dan ironis sekali para calon dan tim suksesnya yang diusung tidak mampu untuk mencegah mereka untuk datang bahkan terasa memanjakannya, seakan turut dalam gelombang pendukungnya agar paslon menjadi pusat perhatian diberikanlah suatu hiburan.

Kegiatan kampanye dengan melibatkan banyak orang pada satu titik tertentu pada ruang terbuka maupun tertutup seakan menjadi bagian dari kampanye seolah-oleh jika tidak ada keramaian maka kurang afdol. 

Namun pertanyaannya adalah, apakah etis jika Negara Indonesia bahkan dunia sedang mengalami pandemi Covid tetap melangsungkan kegiatan kampanye secara terbuka dengan dihadiri ribuan orang? Pasti akan di jawab tidak etis.

Di saat ribuan dokter dan perawat sedang berjibaku merawat para korban Covid bahkan tidak sedikit di antaranya yang meninggal. Dan para pelaku ekonomi,  para pegiat seni, para karyawan banyak yang dirumahkan dan harus hidup kembang kempis dengan sangat santainya mengadakan kumpulan massa. Saya pikir bukan tidak etis lagi tetapi sudah menjadi suatu tindakan kriminal dan wajib dipenjara para inisiatornya.

Tito Karnavian selaku menteri dalam negeri sudah mewanti-wanti agar kegiatan Pilkada ditengah pandemi ini tidak menjadi klaster baru. Oleh karena itu aturan-aturan yang ketat sengaja dibuat seperti Peraturan tersebut antara lain UU No. 6 tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan dengan sanksi administratif berupa peringatan dan denda administratif; serta KUHP Pasal 212 dan Pasal 218 yang dikaitkan dengan kerumunan massa saat tahapan Pilkada dengan ancaman hukuman penjara dan denda.Tentunya aturan itu dibuat untuk menopang  even politik lima tahunan ini bisa sukses dua-duanya. Sukses pilkada dan tidak menjadikan pandemi semakin meningkat.

Jika aturan untuk berkumpul sudah dibatasi, maka selanjutnya bagaimana kampanye yang dilaksanakan dari tanggal 26 September hingga 5 Desember 2020 dapat dijalankan oleh masing-masing kandidat merasa tidak dirugikan . 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun