Mohon tunggu...
Nurul Fatihah
Nurul Fatihah Mohon Tunggu... Mahasiswa - hanya untuk kewajiban

patekah, tioh

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Media Massa di Indonesia

18 Juni 2021   18:00 Diperbarui: 18 Juni 2021   18:30 141
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Negara Indonesia adalah negara berkedaulatan dan berlandaskan hukum. Semua perilaku, tindakan, hak dan kewajiban masyarakat telah diatur oleh undang-undang yang ada. Undang-undang berisikan tentang perintah dan larangan yang harus dilaksanakan oleh masyarakat Indonesia. Bukan hanya satu, namun berberapa undang-undang telah ditetapkan guna untuk menjadi pedoman agar terciptanya negara yang sejahtera. Tanpa disadari seiring berjalannya waktu muncul peraturan baru. 

Dalam essay ini akan membahas tentang hukum media di Indonesia, bagaimana dan apa sistem yang dianut oleh Indonesia dalam mengatur media. Dengan majunya zaman dan berkembangnya teknologi hadirlah media baru. Seperti halnya teknologi yang selalu muncul dengan hal yang baru, demikianpun dengan hukum yang ada, akan melalui proses pembaharuan. Karena tidak selamanya peraturan dapat menyatu dan diterima dengan keadaan yang telah berubah. Bukan tanpa sebab, adanya undang-undang baru atau peraturan lama yang diperbarui untuk menyesuaikan kondisi dan situasi saai itu.

Namun dengan banyaknya peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia tak sedikit masyarakat yang mengetahui dan memahami dengan baik dan benar akan hukum tersebut. Tentang bagaimana hukum berlaku dan harus dilaksanakan sesuai dengan undang-undang yang berlaku. 

Belum lagi tentang istilah bahwa hukum tumpul ke atas tajam ke bawah. Mungkin istilah ini bukan hanya ada di Indonesia namun beberapa negara luar pun mengetahui akan istilah ini. Seperti yang dapat dilihat pada fenomena-fenomena yang sudah banyak terjadi. Istilah yang mengacu kepada bahwa hukum hanya berlaku bagi masyarakat yang berada dalam status ekonomi sosial ke bawah dan sangat tumpul dan seperti tidak mempan untuk kaum elite. Namun kaum elite tidak harus berbuat seenaknya dengan melanggar hukum karena merasa di atas atau apapun itu. Hanya saja mereka akan lebih mudah untuk melihat situasi untuk mengendalikan diri agar tidak kelepasan.

Tentu yang seperti itu akan menimbulkan ketidakadilan dan bisa saja memunculkan kerisuhan dikarenakan rasa iri dan cemburu. Dalam hukum, media memiliki peran penting apalagi untuk menggiring opini masyarakat itulah mengapa ada undang-undang yang mengatur dunia media. Munculnya cyber law sebenarnya sangat merugikan kaum bawah. Hukum cyber law ini seperti hanya berlaku untuk mereka yang memang memiliki status sosial bawah. 

Keterbasan mereka dalam mengakses dunia maya/internet bisa menjadi salah satu penyebab akan ketidaktahuan merekan dengan istilah cyber. Di mana semua hal termasuk hukum dan media sudah menjadi bagian dari dunia cyber itu sendiri. Latar belakang edukasi sebenarnya juga dapat menjadi sebab cyber law ini hanya tajam ke bawah. Dengan fenomena tersebut menandakan bahwa Indonesia masih belum siap untuk menjadi negara dengan teknologi 4.0 yang semua sekarang sudah menggunakan teknologi yang bagus dan canggih.

Media menurut fungsinya adalah sebagai informasi, edukasi, hiburan, dan persuasi. Hanya itulah sebenarnya gunanya media untuk memberikan hal yang bermanfaat untuk audiens. Mirisnya di Indonesia media saat ini terlihat memprihatinkan. Banyak media yang tidak memperhatikan peraturan. Meyebarkan berita dengan seenaknya dan menimbulkan kekeliruan tidak sesuai dengan apa yang terjadi. Sehingga tanpa disadari telah merugikan pihak lain, hal tersebut sudah mlanggar UU Pers pasal 15 ayat 2 yang menjelaskan tentang Hak Jawab, Hak Koreksi dan dugaan pelamggaran terhadap Kode Etik Jurnalistik. Pelaku media seperti wartawan dan jurnalis mereka adalah pekerjaan yang sudah bisa dikatakan profesi yang memiliki kode etik di mana kode etik ini mengatur dan dapat menjadi pedoman untuk menjalankan tugas dengan baik dan benar sesuai dengan kode etik yang berlaku.

Wartawan Indonesia tak sedikit juga yang sudah melanggar kode etik jurnalistik. Sebagai contoh, dilansir oleh Liputan6.com pada April 2021 lalu seorang wartawan yang selanjutnya disebut sebagai pihak teradu dilaporkan telah melanggar kode etik jurnalistik yaitu penyalahgunaan profesi dengan melakukan pemerasan terkait dengan korupsi bansos. 

Diketahui pihak teradu telah mengambil keuntungan pribadi atas informasi yang diperoleh. Setelah diselidiki dewan pers memutuskan bahwa pihak teradu telah melanggar Kode Etik Jurnalistik pasal 1 yang menyatakan “wartawan Indonesia tidak boleh menyalahgunakan profesi dan tidak menerima suap”. Hal yang demikian seharusnya dapat dicegah misal para petinggi media, direktur media, orang-orang yang dibalik media yang berkuasa melakukan tindakan yang tegas terhadap wartawan yang telah melanggar kode etik. Atau juga dapat melakukan monitoring terhadap karyawannya.

Saat ini dengan teknologi yang berkembang penyebaran informasi semakin cepat. Hanya butuh beberapa detik untuk menyebarkan informasi. Akses internet yang memudahkan siapapun dapat melihat berita di manapun dan kapanpun. Namun sebagai masyarakat yang pintar setidaknya kita bisa memilah memilih bacaan atau berita. Sampai saat ini masih banyak yang termakan berita hoax. 

Tak dapat dipungkiri bahwa minat membaca masyarakat Indonesia sangat kecil sehingga dengan mudah percaya akan berita-berita yang belum tentu benar. Untuk mengetahui apakan berita itu benar atau tidak, jangan hanya melihat satu sumber. Melihat sumber yang lain dibaca, diteliti dan ditelaah apakah semuanya benar. Jika beritat satu dan satunya tidak sama tentu ada yang salah dengan hal tersebut, oleh karena itu jangan mudah percaya dengan infromasi yang menyebar. Menurut kominfo hingga saat ini terdapat 800.000 situs penyebaran berita hoax.

Perkembang internet memudahkan semua orang untuk berinteraksi. Siapapun sekarang dapat membuat berita dan semakin mudah untuk memanipulasi demi kepentingan pribadi. Tentu yang seperti itu sangat merugikan banyak pihak. Dengan masyarakat Indonesia yang memiliki minat membaca sangat rendah akan dengan mudah percaya dengan berita yang disebarkan. Untuk itu seharusnya para jurnalis setidaknya memiliki ilmu tentang dunia juranlistik, memahami kode etik jurnalis dan wartawan, mengetahui bahwa berbahaya jika menyampaikan infromasi yang tidak sesuai dengan apa yang terjadi.

Kasus yang pernah terjadi di Indonesia pada tahun 2019, seorang wartawan media lokal membuat beritak hoax/bohong dengan meyudutkan suatu golongan, ras, agama dan memberikan rasa kebencian. Terlebih lagi wartawan tersebut menyerang sejumlah tokoh penting tanah air seperti Presiden Joko Widodo, Ketum Pengurus Besar NU, dan lain-lain dalam tulisannya. Wartawan tersebut dengan inisial KB mengungkapkan dia melakukan itu hanya untuk mendapatkan uang. Karena tindakannya KB dijerat dengan pasal 29 UU ITE No. 11 tahun 2008 tentang penyebaran berita bohon (aa.com). Mungkin dengan kurangnya pemahaman tentang dunia jurnalistik, para wartawan masih mengentengkan pekerjaannya dengan mengabaikan kode etik yang berlaku.

Begitpun dengan pornografi yang masih ada dalam media entah itu situs website atau media sosial. Meskipun kominfo telah memblokir jutaan situs yang mengandung hal-hal yang berbau pornografi dan pornoaksi, masih saja ada oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab memberikan layanan video tidak pantas untuk audiens agar dapat mengakses situsnya tanpa diketahui oleh kominfo. Lagi-lagi dalam hal ini media memiliki peran penting karena menjadi wadah penyebaran infromasi. Adanya media massa baru yang hadir dalam lingkungan masyarakat lebih memudahkan lagi untuk penyebaran hal-hal yang berbau negatif. 

Media massa tentu memiliki dampak positif dan negatif. Salah satunya adalah tentang pornografi. Contoh kasus yang ada adalah mahasiswa di salah satu PTN di Yogyakarta yang menyebarkan foto-foto dan beberapa video yang mengadung unsur pornografi dan korbannya adalah mantan kekasihnya yang diduga hal tersebut dilakukannya lantaran sakit hati karena tidak mendapatkan izin restu dari orang tua korban. Demikian pelaku dihukum dengan pasal UU ITE Pasal 45 No. 19 tahun 2016 dan UU No. 44 Tahun 2008 tentang pornografi.

Contoh kasus-kasus yang ditulis di atas hanyalah segelintir contoh bagaimana media massa di Indonesia berjalan. Tentu sudah ada yang menjalankan sesuai dengan kode etik dan peraturan yang berlaku. Namun tidak sedikit juga yang melenceng dan mengabaikan kode etik sehingga menimbulkan kontroversi. 

Adanya Undang-undang begitu banyaknya tidak membuat oknum yang tidak bertanggungjawab untuk melakukan hal-hal yang negatif dengan memanfaatkan media untuk kepentingan pribadi. Dilihat dari fenomena saat ini media Indonesia masih bisa dikatakan berada dalam level bawah dan masih berkembang. Pemanfaatan media massa masih belum digunakan dengan maksimal. Sekali lagi fungsi adanya media hanya untuk edukasi, informasi, hiburan, dan persuasi. Selain hal tersebut hanya untuk kepentingan pribadi yang dapat merugikan banyak pihak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun