Mohon tunggu...
Nurhilmiyah
Nurhilmiyah Mohon Tunggu... Penulis - Bloger di Medan

Mom blogger

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Mengelola Sensitivitas

27 Oktober 2017   08:50 Diperbarui: 27 Oktober 2017   17:21 975
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada dasarnya setiap orang memiliki sifat sensitif. Hal ini wajar karena tiap orang memiliki perasaan. Namun biasanya istilah sensitif disematkan pada orang yang lebih perasa dari orang yang lainnya. Lawan dari sifat sensitif adalah cuek, masa bodoh, tidak ambil peduli. EGP bahasa pergaulannya, emang gue pikirin. 

Sebenarnya sensitif ini ada kebaikannya juga. Jika berbuat satu kesalahan maka sebelum diingatkan akan kesalahannya, orang yang sensitif mampu dengan cepat merespon hal itu. Segera memperbaiki keadaan dan meminta maaf. Apalagi kalau kemudian sensitif terhadap hal-hal yang menyangkut nasib orang banyak, tentunya akan membawa sekian hal positif yang cukup membantu. Sensitivitas terhadap pengungsi korban Rohingya, para pengungsi erupsi Gunung Agung di Bali atau sensitivitas terhadap para korban meninggal dan luka-luka akibat terbakarnya gudang kembang api di Tangerang. Mengasah kepekaan sosial.

Sensitif yang dibahas di sini adalah sensitif dalam konteks pergaulan sehari-hari. Terkadang saking sensitifnya sampai berprasangka pada orang lain. Padahal orang lain belum tentu sedang memikirkan diri kita. Banyak hal besar lainnya yang perlu dipikirkan dan dicarikan solusinya. Orang yang sensitif entah sengaja atau tidak berpikir bahwa lawan bicara pasti sedang mencari-cari kesalahannya, membicarakan keburukannya. Menghakimi orang lain bahkan sejak dalam pikiran.

Tentu saja hal demikian tidak pada tempatnya. Bisa dikatakan kalau sudah sampai berprasangka buruk, maka sensitif tidak lagi menjadi suatu hal yang indah untuk disifati. Itulah segi minus dari sensitif, apalagi oversensitif. Lazimnya, yang "terlalu" tak akan memberikan sesuatu yang positif. Lebay, bahasa spontannya. 

Kalau sudah demikian, kira-kira bagaimana menguranginya agar tidak destruktif bagi hubungan pertemanan atau relasi dalam pekerjaan? Keep calm and stay positive. Berusaha agar lebih santai saja. Berpikir positif bahwa setiap orang pasti pernah melakukan kesalahan, namanya juga manusia. Seperti kata pepatah Arab yang artinya, insan itu tempatnya salah dan alpa. Namun jangan lupa untuk menjadikannya cerminan di waktu yang akan datang. Agar tidak mengulangi lagi kesalahan yang sama. 

Positive thinking membantu mengelola sensitif yang kadarnya dirasa tidak normal lagi. Tak ada salahnya mengenyahkan negative thinking dengan banyak-banyak tersenyum. Membaca cerita lucu, menonton video kocak, bercanda dengan keluarga atau hal lain yang bisa membuat tertawa bahagia. Terkadang hidup ini memerlukan koma, membutuhkan jeda sejenak.

Adapun terhadap orang yang disangkakan negatif akan memojokkan, berusaha tetap ramah seperti biasanya, beri senyuman sewajarnya. Perhatikan apa yang terjadi, efeknya akan luar biasa. Orang yang akan marah besar sekalipun urung melakukannya. Meskipun tetap marah, kadarnya pastilah berkurang. So, demikianlah salah satu cara mengelola sensitivitas dalam pergaulan berdasarkan pengalaman penulis bersama teman-teman dan keluarga. Semoga ada manfaatnya.

Salam literasi 

Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun