Mohon tunggu...
Nurul Hidayati
Nurul Hidayati Mohon Tunggu... Dosen - Psychologist

Ordinary woman; mom; lecturer; psychologist; writer; story teller; long life learner :)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sudahkah Kampus Kita Merdeka? (Refleksi Hari Kemerdekaan)

22 Agustus 2017   12:24 Diperbarui: 22 Agustus 2017   14:11 1315
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Selamat Datang Para Mahasiswa Baru!

Binar mata yang penuh cahaya dari sekitar seribu lebih mahasiswa baru kampus kami mengisyaratkan nyala harapan. Ya, kampus kami yang terletak di kota industri Gresik. Kampus yang masih terus tegak berdiri dan terus berbenah diri menjawab tantangan zaman, dengan tagline: The Power of Islamic Entrepreneurship-nya.

Di kampus kami, Universitas Muhammadiyah Gresik, sebagian besar mahasiswa berasal dari Gresik dan kota-kota di daerah pantura: Lamongan, Tuban, Bojonegoro. Meski ada pula mahasiswa asing yang berasal dari Negara-Negara di Asia Tenggara seperti Thailand, Kamboja, dan Vietnam. Juga mahasiswa-mahasiswa dari Jawa Timur, Madura, dan beberapa daerah lainnya.

Nuansa di kampus kami tentu berbeda dengan kampus-kampus PTN yang superbesar dengan jumlah mahasiswa yang sedemikian banyak. Nuansa yang lebih hangat dan lekat dengan kekeluargaan. Itulah yang lebih terasa, termasuk ketika mahasiswa baru hadir untuk bergabung dengan keluarga besar kampus kami. Jarak antara jajaran rektorat, dekanat, prodi, dengan para mahasiswa bukanlah selebar bentangan jurang yang menganga. Hangat sapa dan ramah canda, semua natural saja. Antara dosen dan mahasiswa terkesan akrab dan cair.

Sebenarnya, di negeri kita tercinta Indonesia, bukan PTN yang mendominasi (dari sisi jumlah) Perguruan Tinggi, namun justru Perguruan Tinggi Swasta (PTS). Yang salah satunya adalah kampus kami. Variasi kondisi sumber daya antar Perguruan Tinggi dari Sabang hingga Merauke sungguh luar biasa. Ketika empat tahun dipercaya memegang amanah di stuktural, kami sering sharing dengan Majelis Dikti PP Muhammadiyah mengenai ragam kondisi Perguruan Tinggi (baik Sekolah Tinggi maupun Universitas) milik Persyarikatan Muhammadiyah dari Aceh hingga Papua. Data yang ada menggugah dan membuka mata hati kami, betapa PR kami sebagai pendidik di Perguruan Tinggi sungguh sangat banyak. Namun, kami berbahagia diberi kesempatan turut mendidik anak-anak bangsa kita.

Perguruan Tinggi di Indonesia memang memiliki sejarahnya sendiri. Saya merujuk pada sebuah tulisan karya seorang Guru Besar Unair Prof Soetandyo yang dimuat di laman blog beliau (Alm), bahwa berbeda dengan di Negara-negara Eropa maupun Amerika, yang Universitasnya memang semenjak awal didirikan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan. Sehingga para dosen sejatinya merupakan pe-riset (research) yang sinonim dengan para pencari kebenaran. Sedangkan dalam sejarahnya, Universitas-Universitas di Indonesia diawali sebagai bentukan Belanda di masa penjajahan, yang lebih ditujukan untuk memenuhi kebutuhan tenaga ahli pada waktu itu. Sejarah ini yang seringkali kita lupa, dan kemudian kita sering mendadak bingung dan kehilangan arah ketika membandingkan secara langsung Universitas di negeri kita dengan Universitas di Belanda, misalkan.

Tulisan ini bukanlah tulisan yang ditujukan untuk membahas secara komprehensif Pendidikan Tinggi di Indonesia. Anda bisa membuat kajian secara menyeluruh dan mendalam, dari berbagai perspektif mengenai hal tersebut, dalam tulisan Anda sendiri.

Yang ingin saya kemukakan sebenarnya, lebih pada bagaimana suka duka menjadi pendidik di Universitas Swasta di sebuah kota yang notabene bukan Kota Pendidikan seperti Gresik ini. Tentu lebih banyak suka dibandingkan duka, ketika kita mencempungkan diri ke dunia pendidikan, yang bagi saya selaras dengan passion saya. Namun, harus saya sampaikan, menjadi pendidik di (Perguruan Tinggi) Negeri kita ini, sungguh tak mudah. Mempertahankan idealisme merupakan perjuangan yang terkadang berbaur air mata dan darah, ketika tuntutan yang ada seringkali dinilai dengan sebatas angka-angka dan peringkat. Padahal kita sedang berbicara tentang nasib anak manusia, tentang perjuangan pendidikan, yang merupakan salah satu amanat para pendiri bangsa. Dalam salah satu Undang-Undang Dasar Negara kita, tercantum jelas bahwa pendidikan merupakan hak semua anak bangsa.

Pendidikan (education) itu sendiri berasal dari akar kata latin educare yang artinya mengukir. Penekanannya jelas, pada sesuatu yang tidak instan, pada suatu proses yang menjejak secara dalam. Bahkan secara pribadi, ketika ada satu-dua mahasiswa kami yang drop out secara sadar, dan ternyata dia sukses di luar sana dengan bisnisnya, saya merasa ia pun telah menjalani pendidikan-nya dengan baik. Namun, tidak demikian, tentu...apabila kita ukur keberhasilan pendidikan kita semata dengan angka.

Demikian halnya dengan kasus bullying yang terkadang masih menyusup di kehidupan akademik kampus. Bullying, tidak pernah ada hubungannya dengan latihan disiplin. Bullying terhadap mahasiswa baru, juga tak pernah ada kaitannya dengan pembelajaran bagaimana menghormati mahasiswa senior. Maka, saya setuju dengan tulisan di atas yang dalam selarik kalimatnya mengatakan "Bahwa mahasiswa harus bertindak atas prinsip kemanusiaan dan keadilan, tidak sekedar tunduk pada aturan / perintah jajaran tertinggi organisasi." Karena sejatinya, salah satu proses penting dalam Pendidikan Tinggi yakni menumbuhsuburkan kemampuan berpikir kritis dan budaya kebebasan akademis.

Kalau di awal masuk, sebagian senior (atau mungkin juga dosen) di Perguruan Tinggi tempat kalian menuntut ilmu, sudah terjebak dalam frame "mahasiswa yang baik adalah mahasiswa yang selalu say yes" sepertinya PR dunia pendidikan kita memang masih amat berat. Kita perlu menyadari, bahwa memang inferioritas semacam ini mungkin, kalau dalam terminologi Jungian, sudah masuk dalam ketidaksadaran kolektif negeri ini. Bahwa kalau dari sejarahnya (sebagaimana telah saya kutipkan di atas), Perguruan Tinggi (Universitas) kita memang berdiri bukan di atas ruh kebebasan, maka mari kita terus berjuang tanpa lelah memerdekakan diri. Buktikan, bahwa kita memang telah 72 Tahun Merdeka!

Sekali lagi, saya ucapkan, Selamat datang di kampus-kampus negeri ini, wahai Para Calon Pemimpin Bangsa!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun