Mohon tunggu...
Nurul Hidayati
Nurul Hidayati Mohon Tunggu... Dosen - Psychologist

Ordinary woman; mom; lecturer; psychologist; writer; story teller; long life learner :)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Stop "Sharing" Tayangan Kekerasan! Belajar dari Kasus "Live Streaming" Bunuh Diri via Media Sosial

20 Maret 2017   12:18 Diperbarui: 22 Maret 2017   03:00 865
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gejala lain yang sering dilaporkan muncul yakni adanya episode kesedihan, sering menangis, merasa apatis, pola tidur berubah (sulit tidur atau terlalu banyak tidur), pola makan berubah (terlampau banyak atau tidak mau makan), dan kelelahan yang berkepanjangan. Bisa kemudian disertai pikiran-pikiran atau upaya suicide.

Depresi bisa terjadi pada siapa saja, tidak hanya bisa terjadi pada orang dewasa. Anak-anak dan remaja pun dapat menderita gangguan depresi.

Stop Stigma! Stop Sharing Tayangan Kekerasan!

Tidak ada yang lebih buruk dari memberikan stigma terhadap seseorang yang tengah membutuhkan bantuan! Maka, Stop Stigma terhadap seseorang yang mengalami depresi.

Kalau tidak mau (tidak bisa) membantu, setidaknya kita bisa berupaya berempati terhadap kondisi yang tengah dialami penderita depresi. Dalam kasus seseorang yang suicide dan meninggal, maka kita perlu Stop memberikan stigma terhadap keluarganya! Baik itu pasangan (atau mantan pasangan) ataupun anak-anaknya.

Guilty feelings (perasaan bersalah) keluarga yang ditinggalkan juga biasanya amat tinggi. Sehingga, stigma dan penilaian yang menghakimi adalah hal terakhir yang mereka inginkan. Dan stop sharing identitas serta foto-foto (apalagi video) korban dan keluarga! Perlakukan keluarga korban secara empatik. Mereka sangat membutuhkan empati dan support kita.

Beredarnya tayangan kekerasan sudah cukup cepat, tanpa kita ikut berpartisipasi di dalamnya. Seseorang yang sering melihat tayangan kekerasan, walaupun ia tidak meyakini dirinya bukan pendukung kekerasan, lama-kelamaan batas ambang toleransi kekerasan dalam dirinya tanpa ia sadari akan berubah. Dan kita sesungguhnya sulit mengetahui, sejauh mana dampak tayangan kekerasan tersebut terhadap perilaku kita, bukan? Kalau kita sudah mulai permisif terhadap berbagai tayangan kekerasan, yang ditunjukkan dengan komentar-komentar ringan kita (bahkan menertawakan hal tersebut), maka saya katakan hal itu bukan pertanda baik. Kita semua perlu waspada dan mengevaluasi diri.

Apapun yang bisa dan sanggup kita lakukan untuk mencegah kekerasan, lakukanlah. Apapun yang bisa kita lakukan untuk membantu meringankan stress seseorang, lakukanlah! Apapun yang bisa kita lakukan untuk mensupport keluarga yang sedang tertimpa musibah, lakukanlah! Apapun langkah / sikap/ perkataan empatik yang bisa kita munculkan, lakukanlah! Bisa saja, satu langkah kecil Anda menyelamatkan masa depan sebuah (atau banyak) keluarga! Bukankah kita semua manusia?

Semoga tulisan ini bermanfaat. Salam hangat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun