Mohon tunggu...
Nurudin Sidiq Mustofa
Nurudin Sidiq Mustofa Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Filmmaker/Master Student on Film Studies

Passionate in film, especially in film writing and critique.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Mobile Computational Photography Sebagai Bagian dari Cyber Culture

29 Oktober 2022   14:40 Diperbarui: 29 Oktober 2022   14:45 188
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Cyberculture atau budaya siber merujuk pada sekumpulan ide, ideologi, dan produk budaya yang bisa ada karena adanya ruang siber termasuk didalamnya (namun tidak terbatas)  internet, komputer, dan perangkat lunak serta berbagai macam perangkat digital lain (Esposti, 2017). Budaya siber tersebut berkembang setelah era revolusi industri 4.0 dimana komputer dan perangkat digital lain mulai dikenalkan. Budaya siber berdampak kepada berbagai macam aspek kehidupan manusia termasuk didalamnya dunia seni dan media.

Banyak sekali contoh penerapan budaya siber ini salah satunya di bidang audio visual. Film, videografi, dan fotografi di era modern sudah menggunakan sensor kamera digital cmos atau ccd dengan media penyimpanan berupa memory card. Perbedaan utama alat perekam gambar analog dan digital baik di fotografi maupun videografi ada pada proses pengambilan gambar, dan media penyimpanan gambar.


Pada alat perekam analog, gambar atau cahaya benar-benar dicetak melalui lensa ke dalam sebuah media fisik yaitu film seluloid tanpa adanya proses komputerasi digital apapun. Pencetakan pun dilakukan secara manual menggunakan tangan, film seluloid direndam di dalam cairan kimia sampai muncul gambar yang tercetak secara fisik pada seluloid. Proses pengambilan gambar dengan kamera analog pun diatur secara manual pula, mulai dari bukaan lensa, asa, hingga kecepatan rana menangkap cahaya.
Sementara pada proses digital, gambar atau cahaya ditangkap melalui lensa kemudian diteruskan ke sensor digital kamera ccd atau cmos kemudian diubah menjadi kode biner 0 dan 1 dan disimpan dalam memory card. Dalam penangkapan gambar pun terjadi proses penyuntingan yang dilakukan oleh kamera digital agar hasil gambar tidak overexposure serta tone dan warna yang sesuai dengan kenyataan. Pengaturan kamerapun mulai dari focusing, aperture, asa, shutter speed,color balance, semuanya diatur oleh prosesor kamera. Pada intinya, ada proses Computational photography pada kamera digital.


Computational photography adalah salah satu dampak digitalisasi dan cyber culture yang kita rasakan. Computational photography berarti penggunaan perangkat keras seperti lensa atau sensor gambar untuk menangkap data berupa gambar, kemudian menerapkan alogartima perangkat lunak untuk menyesuaikan parameter gambar untuk menghasilkan gambar yang sempurna (Kirkpatrick, 2019). Beberapa contoh computational photography adalah High Dynamic Range (HDR) yang menggabungkan beberapa eksposure foto agar perbandingan bayangan dan cahaya bisa seimbang, kemudian ada autofocus, image stabilization, filters, yang semuanya diatur pada prosesor kamera agar memperoleh gambar yang paling bagus.


Setelah era computational photography muncul era mobile computational photography di mana komputasi gambar tak hanya dilakukan pada kamera professional melainkan merambat ke dunia prosumer bahkan konsumen biasa. Mobile computational photography secara fundamental mengubah bagaimana kita mengambil gambar baik untuk keperluan sosial media hingga kebutuhan fotografi profesional (Delbracio et al., 2021). Setiap orang bisa menjadi fotografer dan videografer hanya dengan gawai di kantongnya tanpa perlu mempelajari teknik maupun esensi seni media rekam itu sendiri.


Lebih jauh lagi, perkembangan mobile computational photography telah mencapai tingkatan sebagai alat produksi film professional. Beberapa film professional Hollywood bahkan menggunakan iPhone untuk proses pengambilan gambar filmnya seperti "Tangerine" yang dibuat pada tahun 2015 oleh Magnolia picture yang hanya direkam menggunakan iPhone 5s. Bahkan di generasi terbarunya, iPhone 13 pro max bisa melakukan mobile computational photography yaitu cinematic mode yang menghadirkan teknik rack focusing atau perpindahan fokus pada objek yang biasanya hanya bisa dilakukan pada kamera film professional seperti ARRI ataupun Blackmagic ke dalam sebuah gawai yang dapat dikantongi.


Contoh lain penerapan mobile computational photography pada budaya siber adalah semakin banyak konten audio visual di sosial media dengan semakin mudah dan murahnya akses ke kamera. Bahkan, sosial media seperti TikTok mempopulerkan format video yang dulunya dianggap tak menarik dan tak nyaman untuk ditonton yaitu format vertikal atau 9:16 dimana format umum untuk video adalah horizontal 16:9. Beberapa film baru pun dirilis menggunakan format yang dipopulerkan oleh TikTok ini seperti film X&Y yang diproduksi oleh Studio Antelope.

Referensi :
Delbracio, M., Kelly, D., Brown, M. S., & Milanfar, P. (2021). Mobile Computational Photography: A Tour. Annual Review of Vision Science, 7, 571--604. https://doi.org/10.1146/annurev-vision-093019-115521
Esposti, P. D. (2017). Cyberculture. The Blackwell Encyclopedia of Sociology, 2005, 1--4. https://doi.org/10.1002/9781405165518.wbeosc195.pub2
Kirkpatrick, K. (2019). The edge of computational photography. Communications of the ACM, 62(7), 14--16. https://doi.org/10.1145/3329721

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun