Mohon tunggu...
Nurudin Sidiq Mustofa
Nurudin Sidiq Mustofa Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Filmmaker/Master Student on Film Studies

Passionate in film, especially in film writing and critique.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Estetika Digital: Juntrungan Keindahan Virtual dan Implikasinya

27 Oktober 2022   17:40 Diperbarui: 27 Oktober 2022   20:10 944
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Apa itu Estetika Digital?
Istilah ‘Estetika Digital’ camar digunakan dalam diskursus dan literatur-literatur masa kini untuk mencitrakan pengalaman keindahan yang berhubungan dengan komputerisasi. Banyak ketaksaan mengenai kesangkilan penggunaan istilah baru ini. Banyak pula ahli yang bersawala mengenai arti paripurna dari Estetika digital.

Untuk mengenal apa itu Estetika Digital, kita harus menarik persepsi lebih jauh. Estetika Digital terdiri dari dua huruf yaitu Estetika dan Digital. Estetika berasal dari Bahasa latin Aisthēsis yang berarti ‘persepsi dari indra’, ‘ perasaan’, dan ‘sensasi’ yang kemudian oleh Baumgarten diartikan sebagai ‘pengetahuan sensorik’ (Fazi, 2019).  

Kualitas mendasar dari media digital adalah mereka (data) digerakkan secara cepat (per menit), memiliki sinyal elektris yang tidak bisa dilihat, dan didefinisikan dengan tombol ‘on’ ‘off’ (Cubitt, 1998). Karena sifatnya yang elektris, maya, dan tidak bisa dirasakan inilah, banyak peneliti yang tidak bisa melihat sesuatu yang berkelindan didalam estetik maupun digital.

Syahdan, estetika digital dapat diartikan sebagai penerjemahan data numerik ke bentuk visual yang mudah dicerna dengan sedikit kehilangan fungsinya sebagai objek seni yaitu menyampaikan sebuah pesan (Wiley, 2020). Pesan yang diterima  oleh pengamat objek seni tersebutlah yang kemudian dapat dikatakan sebagai estetika digital.

Estetika Digital dan Artefak Digital
Artifact atau artefak mempunya pengertian sebagai sebuah benda yang dibuat oleh manusia, biasanya benda yang memiliki latar belakang kultural dan historis. Namun, seiring dengan perkembangan zaman, produk artefak tidak harus berupa benda tangible yang dapat disentuh melainkan bisa benda maya hasil dari produk komputerisasi. Aderito Fernandez dkk. Dalam bukunya The Computer Medium in Digital Art’s Creative Process menyebutkan bahwa apa yang dimaksud dengan Artistic Digital Artifact adalah  hal yang direncang atau dibangun disekitar teknologi digital dimana artefak bertindak sebagai perwujudan pesan, informasi, dimana informasi tersebut dapat meningkatkan sisi perseptif pengguna (Fernandes, 2009). Lantas apakah semua entitas digital adalah digital artifacts? Tidak, tidak semua entitas digital merupakan artefak digital.  Merujuk dari arti kata artefak dan pengertian dari Aderito Fernandez, sebuah benda bisa disebut sebagai Digital Artefacts apabila benda tersebut dibangun dan dirancang pada ekosistem digital, dibuat oleh manusia, dan memiliki pesan dan informasi (nilai guna), serta memiliki latar belakang kultural (nilai budaya) dan historis. Ketika sudah memenuhi semua aspek tersebut maka sebuah objek dapat dikatan sebagai Digital Artefacts. Artefak digital mempunyai hubungan dengan estetika digital. Sama dengan estetika lama dan artefak fisik, artefak digital adalah objek dari estetika digital itu sendiri.

Estetika Digital : Implikasi di Dunia Nyata dan Kekhawatiran Atas Kemunculannya
Estetika digital bisa dijadikan inspirasi pada banyak bidang seperti film. Salah satu caranya adalah menggunakan virtuality. Virtuality bisa berarti ada atau menghasilkan sebuah esensi atau efek meskipun tidak dalam fakta, bentuk, atau wujud yang sebenarnya. Contohnya pada proses shooting film Habibie Ainun 3.  Virtuality yang dilakukan disini adalah menghadirkan sosok karakter yang sudah tidak ada yaitu mendiang presiden B.J. Habibie melalui perpaduan motion tracking, motion capture, yang dilakukan pada dua orang aktor yaitu Reza Rahadian dan Elang Gibran. Sosok B.J. Habibie Muda ditangkap melalui gerakan acting Elang Gibran yang secara fisik cocok kemudian dikombinasikan dengan akting ekspresi muka dari Reza Rahadian yang merupakan pemeran utama di film ini untuk merepresentasikan B.J. Habibie.

Secara umum, hal yang menjadi sebuah kekhawatiran dalam digitalisasi sebuah karya seni adalah ketiadaan semtuhan tangan seniman secara langsung pada karya seni yang dibuat pada media digital sehingga seni terkesan rigid, tidak memiliki emosi, tidak memiliki jiwa, dan cenderung artifisial karena tidak adanya imperfection pada karya yang dibuat secara analog. Imperfection dianggap humanis dan merupakan bagian dari karya itu sendiri. Solusi yang bisa ditawarkan adalah melakukan hybrid atau perpaduan antara Teknik digital dan Teknik manual (analog) yang tetap menawarkan kemudahan teknologi dalam pembuatan karya namun tetap memberikan jiwa dengan sentuhan tangan pada karya itu sendiri. Contohnya adalah gerakan shoot film not megapixel. Pada gerakan tersebut, para seniman fotografi jenuh dengan hasil foto yang terlihat tanpa cela, otomatis, dan mudah dengan kamera digital yang serba automatis dari mulai pengaturan asa, aperture, focusing, exposure semuanya serba otomatis.. Akhirnya dari kejenuhan tersebut muncullah sebuah gerakan untuk mengambil foto menggunakan kamera analog dengan media penyimpanan film seluloid yang semuanya manual mulai dari pengaturan iso, aperture, focusing, hingga proses cuci film seluloid menggunakan tangan sendiri. Walaupun pada akhirnya hasil film seluloid tidak dicetak pada media fisik namun di scan dengan proses digital, ada sentuhan tangan yang memperlihatkan jiwa pada hasil foto itu sendiri seperti grain, exposure, light leak, underexposure, dll.

Penutup

Estetika digital adalah estetika baru yang muncul karena era digitalisasi dan komputerisasi di dunia. Tidak dapat dipungkiri, setiap masa akan menghasilkan karya seni baru dan estetika-estetika baru lain yang mungkin tidak pernah kita bayangkan sebelumnya, tinggal bagaimana kita menyikapi perkembangan dunia ini apakah kita akan bertahan dengan perubahan jaman dan beradaptasi dengan estetika baru atau menjadi 'artefak' dan disimpan di museum belaka.

Referensi

Bridley, John (2013). The New Arsthetic and its Politics. http://booktwo.org/notebook/new-aesthetic-politics/

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun