Mohon tunggu...
Nurudin Sidiq Mustofa
Nurudin Sidiq Mustofa Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Filmmaker/Master Student on Film Studies

Passionate in film, especially in film writing and critique.

Selanjutnya

Tutup

Film

Paradoks Identitas Film Nasional

18 September 2022   10:04 Diperbarui: 18 September 2022   10:10 178
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Taman mini Indonesia indah atau biasa disebut (TMII) adalah kawasan wisata bertema budaya Indonesia. Area seluas 1,5 hektar persegi berisikan berbagai wahana yang merangkum kebudayaan bangsa Indonesia, yang mencakup berbagai aspek kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia yang direpresentasikan dalam anjungan daerah berarsitektural tradisional, serta menampilkan aneka busana, tarian dan tradisi daerah. Tujuan Bu Tien Soeharto membangun TMII adalah untuk membangkitkan nasionalisme dan membangkitkan kebanggan terhadap rasa cinta terhadap tanah air dan bangsa. Salah satu wahana yang terkenal di TMII adalah Teater IMAX keong emas. Film yang ditampilkan berisi film-film yang mengangkat identitas budaya nasional seperti Indonesia Indah, anak-anak Indonesia, dan untaian manikam di khatulistiwa. Kita tentu mengingat bagaimana film tersebut dapat membangkitkan nasionalisme kita dan memperkaya khazanah kita tentang budaya di Indonesia, sesuai dengan tujuan mulia Ibu Tien dalam membangun TMII. Namun ada sebuah paradoks yang muncul dari film-film tersebut : film tersebut bukanlah buatan Indonesia melainkan buatan Amerika. Hal tersebut memunculkan pertanyaan klise "apakah sebenarnya film nasional itu?" mengingat tujuan dari film tersebut untuk membangkitkan nasionalisme tetapi film tersebut dibuat secara transnasionalis.

Apa yang membuat sebuah film disebut film Indonesia? Apakah karena uang produksi berasal dari Indonesia? Apakah karena sutradara, semua kru, serta pemainnya berasal dari Indonesia? Apakah karena menggunakan struktur dramaturgi yang berbeda dari film amerika? Salah satu cara untuk memahami hal itu digunakanlah istilah Film nasional yang mencoba mempertanyakan hubungan sebuah film dengan institusi (pemerintah,produksi,distribusi, dan struktur pertunjukan) dari suatu negara. Sebenarnya persoalan tentang apa itu film nasional sudah lama sekali dibahas, Stephen Crofts membuat daftar pertanyaan untuk mendefinisikan ciri-ciri Film nasional yang mengacu pada hasil kerja Andrew Higson, pertanyaan tersebut membahas mulai dari produksi, distribusi, penonton,  tulisan pengamat film, tektualitas budaya pada film, hingga peran pemerintah. Namun, tetap saja terdapat kerancuan dalam perumusan film nasional.

Ada berbagai contoh kasus lain bagaimana peliknya masalah film nasional, misalnya saja film dari hollywood yang dianggap merepresentasi film nasional amerika seperti "Independence day" yang bercerita tentang penyerbuan alien di amerika yang kental dengan nuansa patriotik khas amerika; diproduksi di amerika; menggunakan latar belakang budaya, bahasa, di amerika serikat. namun ternyata sutradara film tersebut yaitu Roland Emerich, yang lahir dan berkewarganegaraan Jerman tulen. Apakah film Independence day masih bisa disebut sebagai film nasional-nya amerika? Atau bagaimana film The Raid yang mengangkat budaya Indonesia yaitu pencak silat, berlatar belakang budaya dan bahasa Indonesia, namun secara struktur naratif mirip dengan film blockbuster hollywood, dan disutradari oleh Gareth Evan yang lahir dan berkewarganegaraan Inggris.

Sebenarnya tulisan ini tidak bertujuan untuk menjawab pertanyaan tentang Film Nasional Indonesia, tulisan ini bertujuan untuk melontarkan sebuah gagasan tentang film Nasional Indonesia yang menurut saya masih njelimet. Terlebih di Tanggal 30 Maret, kita memperingati hari film nasional. Untuk menutup tulisan ini saya mengkutip Andrew Higson di bukunya Cinema and Nation "It doesn't seem useful to me to think through cultural diversity and cultural specificity in solely national terms : to argue for a national cinema is not necessarily the best way to achieve either cultural diversity or cultural specificity." (Terinspirasi dari Buku Cinema and Nation yang diedit oleh Mette Hjort dan Scott Mackenzie dan pidato Seno Gumira Aji pada hari film nasional ke 64)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun