Sejarah Singkat Berdirinya Pondok Gontor
Bermula dari desa terpencil di Jawa Timur yang jarang didatangi orang, bahkan sampai dijadikan tempat persembunyian para pelaku kejahatan dan kemaksiatan. Desa Gontor, tempat Kyai Sulaiman Jamaluddin mengabdi menyebarluaskan ajaran Islam.Â
Dinamika panjang yang dilewati Kyai Jamaluddin untuk membangun pondok di Gontor telah tiba pada generasi keempat. Mereka datang dengan semangat perubahan dan perbaikan. Berbekalkan ilmu dari berbagai lembaga pendidikan dan pesantren mendorong mereka untuk memperbaharui sistem pendidikan pondok hingga berdirilah Pondok Modern Darussalam Gontor tepat pada 20 September 1926.Â
Mereka adalah Trimurti; KH. Ahmad Sahal, KH. Zainudin Fananie dan KH. Imam Zarkasyi.
Berlandaskan kurikulum yang berbeda dan sempat tidak diakui pemerintah selama 64 tahun lamanya tak membuat semangat Trimurti goyah begitu saja. Mereka tetap mempertahakan KMI (Kulliyatul Mualimin Al-Islamiyah) sebagai kurikulum. Dibentuk sejak tahun 1936, yakni setelah pondok berusia 10 tahun dan mendapatkan persamaan ijazah setara SLTA dari Departemen Pendidikan Indonesia melalui Keputusan Menteri Pendidikan Nasional No. 105/O/2000. Kurikulum ini menekankan pada proses pendidikan yang berlangsung selama 24 jam, dari bangun tidur sampai tidur lagi. Sehingga apa yang dilihat, didengar, dan dirasakan oleh santri semua adalah pendidikan.Â
Masuk Gontor Harus Dengan Persiapan MatangÂ
"Ke Gontor Apa Yang Kau Cari?". Kira-kira begitulah pertanyaan yang sering Kyai tanyakan pada para santri, khususnya santri baru. Kyai selalu menyampaikan bahwa Gontor bukanlah tempat sihir. Menjadi santri di Gontor tidak menjamin akan alim dan pintar. Gontor hanya menyediakan sarana pendidikan, yang rajin akan pintar dan yang malas akan bodoh. Â
Pembentukan karakter melalui kedisiplinan dalam kehidupan berasrama kerap kali menjadi tantangan tersendiri. Bangun jam setengah empat pagi, mengantri panjang untuk makan dan mandi, penggunaan Bahasa Arab dan Inggris, dan masih banyak lagi. Semuanya harus serba tepat waktu. Kalau tidak, maka harus bersiap menghadapi hukuman yang ada seperti berjemur di depan masjid, membersihkan toilet, membersihkan kotoran hewan dan hukuman lainnya yang mungkin lebih berat. Kedengarannya mungkin sedikit menakutkan, tetapi proses pendidikan inilah yang menjadikan santri Gontor disiplin dan berdikari, berdiri di atas kaki sendiri.Â
Banyak yang mengira bahwa mondok di Gontor hanya belajar ilmu agama saja. Itu salah besar. Gontor menerapkan keseimbangan antara ilmu agama dan ilmu umum, sehingga memiliki lebih dari 20 mata pelajaran yang harus dipelajari. Memahami dan menghapal materi pelajaran sudah menjadi makanan sehari-hari bagi santri. Ketika berada di kelas akhir, semua mata pelajaran yang ada akan diujikan secara tertulis dan beberapa diujikan secara lisan. Ujian ini dinamakan "Imtihan Niha'i". Dilaksanakan dengan penuh khidmat dan tenang karena hasil ujian inilah yang akan menjadi penentu pada hari kelulusan nanti.Â
Kini, Gontor memiliki 12 kampus putra yang tersebar di seluruh Indonesia dengan kampus utamanya yang berada di Ponorogo. 8 kampus putri dengan kampus utamanya yang berada di Mantingan. Tepat pada 2026 mendatang Gontor genap berusia 100 tahun. Sejak berdirinya hingga saat ini, Gontor tetap eksis menjadi lembaga pendidikan umat dengan mengedepankan karakter dan adab.
Sebagai alumni, saya mengakui bahwa tidak mudah untuk bisa bertahan di Gontor selama 6 tahun lamanya. Beribu tawa dan luka telah dilalui. Jauh dari orang tua adalah yang paling menyakitkan. Tapi untungnya saya tidak sendiri, saya bersama lebih dari 600 teman yang sama-sama berjihad  fisabilillah untuk menuntut ilmu, dan itulah yang paling menyenangkan. Â