Malu? itu sudah pasti. Tapi akan lebih malu jika masalahnya membuncah sejagat raya begini. Toh bukankah banyak tukang bikin malu lain di luar sana.Â
Pembelajaran ke dua: Jadilah orang tua yang arifÂ
Saya ingin sedikit berbagi pengalaman. Selama anak perempuan saya kuliah di luar daerah, setidaknya sekali setahun saya berusaha pergi ke tempat tinggalnya, meninjau kondisinya seperti apa.Â
Saya berusaha menjadi ibu yang arif, tetapi tidak usil. Setiap dia pulang saya selalu memancingnya dengan berbagai pertanyaan. Di antaranya yang paling sering, "Nak, sudah punya pacar apa belum? Kamu tuh sudah dewasa. Kalau ada jodoh yang bertanggung jawab, masa depan menjanjikan, mengerti agama, silakan nikah, kuliah lanjut, biaya tanggungan Emak."Â
Dia tertawa ngakak. Padahal, saya hanya berbasa basi sekalian menjajaki apakah dia sedang bermasalah dengan dirinya dan pacarnya. Andaikan saya bertanya terus terang, "Nak apakah kamu sudah diapa-apakan oleh pacarmu?" Dia pasti marah dan merasa terpojok.
Walaupun zaman itu kami belum punya HP, minimal sekali seminggu saya nelepon dari telekom atau warnet ke tempat kosnya menanyakan kondisinya, dimana keberadaannya, dan apa kesulitannya.Â
Teleponan akan menjadi ritual wajib ketika saya mendapat mimpi yang agak aneh. Nyinyiran begini saya lakukan terus-menerus  setelah dia bekerja jauh di ibu kota provinsi, sampai akhirnya dia menikah.
Berkenaan dengan NM, 10 tahun berpacaran dan bebas melakukan hubungan suami istri, 7 kali melakukan aborsi. Baberapa kali pula berpindah-pindah tempat kos, agak aneh menurut saya jika orang tuanya tidak arif terhadap kondisi anaknya. Coba samperin tempat kosnya. Tanyakan padanya ada apa dengan 7 box tersebut, masalahnya mungkin cepat tertangani dan tidak berlarut separah ini.Â
Demikian kira-kira 2 pembelajaran yang bisa kita petik dari kasus 7 janin di Makassar. Terakhir mohon maaf sekiranya tulisan ini terlalu lancang. Semoga bermanfaat. *****Â