Hampir tiap hari berita kekerasan seksual terhadap anak meramaikan media tanah air. Muak dengan pewartaan tersebut. Apabila ditayangkan di televisi, saya segera ganti canel.
Bukannya tidak simpatik terhadap penderitaan anak-anak. Tetapi tersebab jijik dengan aksi bejat pelakunya, yang lebih buas daripada hewan.
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) mencatat, pada 2019 ditemukan sebanyak 350 perkara kekerasan seksual pada anak (lokadata.id, 10/01/2020). Angka tersebut terus meningkat.
Mungkin fakta di lapangan angkanya lebih tinggi. Mengingat cultur masyarakat Indonesia suka menutup-nutupi aib keluarga.
Celakanya, sebagian pelaku adalah orang terdekat. Dan yang paling menyayat hati, Â mangsanya anak kandungnya sendiri.Â
Sebelum menulis artikel ini saya mencari informasi dari berbagai sumber. Rata-rata dari artikel yang sempat saya baca, korbannya kebanyakan bocah 10- usia SMP. Kebanyakan  mereka punya orangtua lengkap. Ada dua yang  ayah ibunya berpisah alasan perceraian dan ditinggal merantau.
Mirisnya, Â kekejaman seksual ini mereka alami bertahun-tahun. Cuman sedikit dalam hitungan bulan dan ketahuan dari awal. Â
Kondisi ini patut kita rayakan sebagai momen "keprihatinan anak Indonesia". Pelakunya pantas dikutuk.
Namun, tidak adil jika kutukan ditujukan kepada oknum suami saja. Isterinya pun seharusnya mengutuk dirinya pribadi. Karena mungkin gara-gara kekeliruan dia sang buah hati menjadi korban keganasan seksual ayahnya sendiri.Â
Mari kita kuliti dugaan kekeliruan tersebut satu per satu!
1. Isteri Pelit.
Logikanya manusia normal, apabila perutnya kenyang, lauk emas pun disuap ke mulutnya dia tak mau makan. Sebaliknya, jika dia lapar harimau pun seakan mau dia telan hidup-hidup.