Belum lama ini saya  dicurhatin A. Katanya, B telah merebut lahan bisnisnya. Gara-gara persoalan tersebut dirinya jadi mabuk.Â
Mabuk apa? Mabuk ngomel.
Namanya emak-emak. Ketemu C nyerocos, ketemu D nyeracau, "Sudah tahu seumur hidup saya cari makan dari jualan nasi. Kok tega-teganya dia buka warung makan, merampas pelanggan saya. Tarif saya Rp 20 ribu, dia jual lima belas? Bla ..., bla ...."Â
Dan ocehan lain tak pantas ditulis di sini. Sampai dia mengancam, mau melabrak B.
Saya katakan ke dia, "Jangan. Nanti masalahnya tambah pelik. Kita tidak berhak melarang siapun untuk berkembang. Mau niru bisnis si Badu atau mencontoh ikhtiar si Udin. Tanah Air ini bukan milik satu orang."
Kalau dia ngomong dengan saya, insya Allah habisnya di telinga saya saja. Tetapi ketika dia ngomong ke orang lain, kasusnya menjadi runyam. Terlebih sebagian pendengarnya punya hubungan keluarga dengan B.
Sebagai jalan tengah, saya coba meluruskan agar dia berpikir dengan kepala dingin. "Ikuti perkembangannya, nanti akan ketemu solusinya seperti apa. Supaya pergaulan kita bertetangga tidak pecah."
"Tidak mungkin mengikuti harga dia. Dua puluh saja tak dapat untung. Apalagi lima belas," balasnya.
Ya sudah. Saya diam saja. Karena yang berprofesi sebagai penjual nasi adalah dia. Tentu dirinyalah yang lebih berpengalaman.
Cuman saya sempat membandingkan, tetangga saya di Kota Jambi punya bisnis serupa.
Ampera dihargainya Rp 10 ribu, layanannya take away dan bersantap di tempat. Lauk tanpa nasi Rp 5 ribu per potong, sayuran Rp 5 ribu per bungkus. Mulai buka pukul 10.00 WIB. Sebelum pukul 12.00 ludes terjual.