Mohon tunggu...
Nursini Rais
Nursini Rais Mohon Tunggu... Administrasi - Lahir di Pesisir Selatan, Sumatera Barat, tahun 1954.

Nenek 5 cucu, senang dipanggil Nenek. Menulis di usia senja sambil menunggu ajal menjemput.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Pedagang Kemplang dan Persaingan Hidup yang Makin Ketat

26 Februari 2020   19:36 Diperbarui: 27 Februari 2020   10:15 585
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Persaingan hidup semakin ketat, baik di kota maupun di desa. Untuk memenangkannya tidak cukup dengan bekal pendidikan saja. Lebih dari itu, setiap individu dituntut kreatif dalam mengekplorasi potensi diri.

Hanya pribadi berjiwa "petarung" yang bisa menang dalam kehidupan. Mereka yang terjebak dalam kemalasan akan tergilas oleh zaman. Ujung-ujungnya mengeluh dan mengeluh.

Kata "petarung" di sini bukan dalam arti saling sikut. Tetapi sebagai ungkapan fakta atas persaingan hidup yang semakin ketat. Berikut salah satu potret insan yang sedang bertarung dalam kehidupan, agar tetap bernafas di hari esok.

AA dan AD, anak lanang 16-20 tahun. Mereka berasal dari salah satu Kabupeten di daerah Sumatera Selatan, yang dibawa oleh pengusaha kerupuk kemplang ke Kota Sungai Penuh (16 kilometer dari desa saya).

Di kota ini mereka dan 13 rekannya tinggal di kontrakan yang dibayar oleh bosnya. Untuk makan, beli nasi masing-masing.

Setiap hari mereka menyebar ke luar kota untuk menjajakan kerupuk kemplang. Jaraknya puluhan kilometer dari tempatnya menginap. Bahkan mencapai 30-an kilometer. Kebetulan AA dan AD ini trayeknya jalan di depan rumah saya. Saya salah satu pelanggannya.

Penjual kamplang meneriaki dagangannya. Dokumentasi pribadi.
Penjual kamplang meneriaki dagangannya. Dokumentasi pribadi.

Setiap orang membawa 1 pak kerupuk yang memuat 220 kemasan kecil, sambil meneriaki "Kerupuk .... Kerupuk ...." di sepanjang jalan. 

Kedua cowok hitam manis ini mengaku, kalau dagangannya terjual habis mereka memperoleh untung Rp 75-100 ribu. Sering juga bersisa karena gangguan cuaca, paling dapat 30 atau 50 ribuan. Dengan penghasilan sebanyak itu, mereka bisa mengirimi uang ala kadarnya kepada orangtua.

Ketika ditanya apakah mereka diantar ojek atau mobil ke titik-titik tertentu, AA menjawab, "Gak kok, Bu. Mahal. Ke sini Rp 30 ribu," katanya menunjuk ke tanah yang sedang dia pijak.

"Seringnya naik motor lewat. Berhenti di satu desa terus jualan dulu. Kalau mau ke lain desa, minta numpang lagi sama motor lain. Begitu seterusnya. Orang sini baik-baik. Rata-rata mereka tak pernah menolak," katanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun