"Cukuplah aku yang bekerja. Kamu fokus saja pada kesehatanmu dan calon bayi kita. Lengkapi makananmu dengan  gizi yang cukup,"  kata Bang Dicky menanggapi penonaktifan aku oleh pihak perusahaan. "Terima kasih, sayang. Aku siap dipanggil ayah," tambahnya.  Kecupan mendarat di keningku.
Aku tersenyum. Rasa ingin dimanja menggebu-gebu. "Ntar pulang belikan aku sate padang ya, Bang!" pintaku ketika Bang Dicky siap-siap hendak berangkat kerja.
"Okey, siap, Â Nyonya."
Apa pun yang terjadi, kehilangan pekerjaan, tiada berpenghasilan, aku tak ambil pusing. Yang penting aku dapat tidur sepanjang hari. Seakan-akan hadirnya siang menjemput kantuk, datangnya malam menyongsong pulas.
 "Bangun...! Te sate sudah datang ...!" Bang Dicky berseru penuh semangat. Dia ke belakang untuk berwuduk dan siap melaksanakan solat Isya.
Kubuka bungkusan sate tersebut. "Bang ...!" aku setengah menjerit. Perutku mual mencium bau bawang goreng bercampur kacang tanah.
Aku kesal. Kubungkus kembali sate itu  mengikuti lipatan semula. Aku tak mau beranjak sebelum Bang Dicky selesai solat.
"Kenapa, Din? Tak suka, ya?"
"Yang kumau sate biasa. Bukan sate pakek bumbu kacang." Amarahku menyesak ke pusat syaraf. Kubuang sate tersebut ke tong sampah, lalu masuk kamar terus rebahan.
Bang Dicky menyusul. "Maaf ya, sayang. Niat Abang mau memanjakan seleramu dan janin kita. Harganya pun lebih mahal daripada sate tanpa kacang. Besok Abang beli seperti yang kamu minta ya." Bang Dicky membelai rambutku. Beberapa kali hidungnya menempel di pipiku.
Aku diam dalam dongkol. Sepuluh ribu kali pun dia berjanji aku bergeming. Yang aku mau, Â sate yang kuidamkan telah tertelan bersama lelehan liurku.