Mohon tunggu...
Nursini Rais
Nursini Rais Mohon Tunggu... Administrasi - Lahir di Pesisir Selatan, Sumatera Barat, tahun 1954.

Nenek 5 cucu, senang dipanggil Nenek. Menulis di usia senja sambil menunggu ajal menjemput.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Belajarlah dari 3 Korban Ini agar Tak Terperangkap Investasi Bodong

19 November 2019   22:35 Diperbarui: 19 November 2019   22:36 514
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber ilustrasi: news.detik.com

Seminggu terakhir, kasus investasi bodong kembali mencuat. Kali ini korbannya terperangkap kasus Kampoeng Kurma, dengan modus menjual tanah kavling kepada masyarakat. Dijanjikan lahan tersebut akan ditanami kurma. Hasilnya kelak akan dibagi kepada pemilik kavlingan.

Untuk meyakinkan investor, penawaran berlandaskan syariah bebas riba. Diimingi dengan berbagai fasilitas. Mulai dari masjid, pesantren, pacuan kuda dan lain sebagainya dengan nuansa islami. Ternyata janji tersebut hanya tipuan belaka. 

Masalah investasi bodong ini sudah membumi sejak puluhan tahun yang lalu. Mudusnya beraneka ragam. Mulai mengumpulkan dana segar, memasarkan obat-batan, aneka  produk, kosmetik dan barang lainnya. Bahkan atas nama investasi guru pun juga ternyata bodong, sampai merugikan pesertanya  jutaan rupiah.

Dikutip dari krjogja.com, Berdasarkan catatan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), jumlah korban investasi bodong secara nasional mencapai 19 juta orang dengan jumlah nominal  sebesar Rp 105 triliun dalam kurun waktu 10 tahun sejak 2007 hingga 2017. 

Dalam menggaet massa, pengelola menyasar segala lapisan masyarakat. Dari orang awam sampai kaum berpendidikan tinggi.

Pasangan suami isteri tuna netra asal Jembrana, Bali, Putu Utama (48) dan Gusti Ayu Ketut Ganteng (48), mengaku tertipu Rp 5 juta oleh bujukan seseorang. Ivestasi yang ditawarkannya bisnis pulsa.  "Itu dana saya dan istri. Itu hasil jerih payah memijat sejak puluhan tahun. Kami tidak berani menuntut atau ambil jalur hukum karena minim bukti. Bahkan rekan-rekan yang jadi korban ada dananya jauh lebih besar tidak bisa nuntut," ujar Putu Utama lirih di sini.

Adik bungsu saya suami isteri juga menjadi korban investasi bodong. Keduanya tergolong orang berpendidikan. Lumayan, Rp 27 juta,  Tahun 2017. Katanya, bulan pertama sampai ke tiga pembayaran jasanya lancar. Bulan ke empat mulai macet. Bulan ke lima, kabar menyakitkan datang. Bosnya melarikan diri. Sampai sekarang kasusnya tenggelam ke laut Pasifik.

Saat saya tanya investasinya bidang apa, dia hanya menunduk. Entah tersebab tidak paham, hanya tergoda oleh untung besar, atau kerena takut saya marahi. Sebab, dia menyerahkan dananya pada perusahaan tersebut secara diam-diam. Tanpa minta pendapat pada saya. Ketika saya sarankan  agar  membawanya ke jalur hukum dia menjawab, "Saya streeeesss ...!"

Belasan tahun yang lalu, seorang dokter ahli panyakit dalam pun tak luput jadi mangsa investasi bodong.  Dikabarkan, untuk kota kami dia sebagai mitra pemasaran dan pengumpul dana. Para pesertanya  kalangan pejabat penting  dan orang elit.

Setelah diketahui  bisnis yang ditawarkan fiktif, para investor rame-rame minta uang mereka dikembalikan.  Entah karena jantungan atau stress,  akhirnya sang dokter meninggal. Padahal  dia cuma sebagai perantara.

Ini hanya sedikit dari sekian banyak korban yang tercium publik. Ada puluhan korban lainnya yang malu membeberkannya. Beraninya cuma curhat pada orang terdekat.

Antusiasme emak-emak anggota arisan keluarga IKAPSO, saat diminta oleh karyawan perusahaan untuk foto bersama. Dukumen grup WA arisan IKAPSO.
Antusiasme emak-emak anggota arisan keluarga IKAPSO, saat diminta oleh karyawan perusahaan untuk foto bersama. Dukumen grup WA arisan IKAPSO.
Kasus  investasi bodong ibarat fenoma gunung es. Walaupun korbanya terus bertambah, masyarakat sepertinya tak kapok-kapok.  

Di tengah merebaknya kasus Kampoeng Kurma, tanggal 08 November 2019 lalu, di kelompok arisan kami hadir beberapa petugas dari sebuah perusahaan yang bergerak di bidang investasi. Mereka datang dari ibu kota provinsi tetangga.

Walaupun pada hari itu saya tidak hadir, beberapa foto kegiatan masuk ke grup WA. Sekalian brosurnya. Tapi tidak semua saya bagikan di kompasiana. Takut terjerat UU  ITE.

Besoknya salah satu anggota arisan nelepon saya.  Rupanya  oleh perusahaan ibu pensiunan itu didapuk sebagai leader  untuk kota kami.

Dia mengenalkan wadah berinvestasi tersebut sebagai grup yang dipimpin oleh salah satu Putri Mahkota sekaligus pengusaha terkenal di Malysia. Tentu saja dengan berbagai keunggulannya.

Saya biarkan dia ngomong panjang lebar. Ujung-ujungnya mengajak saya bergabung. "Kita ambil satu  paket saja. Buat tambahan belanja di luar gaji pensiun," katanya.  

Dia menjelaskan, untuk menjadi peserta, calon nasabah diminta membayar modal awal Rp 6 juta. Kalau ambil 2 atau 3 paket dan seterusnya, kali saja 6 juta.

Supaya mudah, investor pertama kita beri label A. Kalau A bisa menarik satu invesrtor baru, katakan namanya B, kepada A dikasih bonus  5 juta. Jika  dapat dua berarti 10  juta dan seterusnya.  Modal awal tetap utuh. Aturan serupa berlaku pula untuk B dan yang di bawahnya. 

Ini hanya sebagian kecil dari sekian banyak informasi yang dia sampaikan. Belum termasuk sistim hitungan bunga yang menjanjikan keuntungan besar bagi investor dan tata cara menjual saham andai pemilik modal mau keluar dari anggota.   

Saya coba mengingatkan sobat saya itu. Supaya dia tidak mudah percaya dengan iming-iming untung yang belum jelas. Dan saya banding-bandingkan dengan kasus Kampoeng Kurma.

Kayaknya dia terlanjur jatuh hati. Katanya si ini, si itu, si Ana dan si Anu juga ikutan. Ya, sudah.

Terakhir dia mengundang  saya dan cowok gantengku makan bersama pada tanggal 17/11 kemarin. Bertempat di sebuah cafe yang cukup terkenal. Acara, mengikuti  pertemuan lanjutan dengan anggota arisan kabupaten. Saya memilih tidak hadir.

Untuk sementara, saya masih  berpositif thinking. Mana tahu, sang leader kurang pas menyampaikan informasinya. Atau saya yang kurang nyambung.

Sejatinya, belum separo pembicaraannya saya duluan paham subtansinya. Sebab, bukan pertama saya di-PHP-in begini. Mungkin sudah puluhan kali. Alhamdulillah belum pernah tergoda.  Kecuali  membeli saham pesawat terbang yang diwajibkan bagi setiap guru, beberapa saat sebelum Suharto lengser. 

Melalui pemotongan gaji resmi. Besaran perbulannya saya tak ingat lagi. Setelah beberapa kali setoran, pembayaran disetop. Sampai sekarang  uang tersebut hilang tak tentu rimbanya.

Mencermati problema di atas, sudah saatnya pihak pemerintah memberikan edukasi kepada seluruh masyarakat tentang  cara berinvestasi yang aman. Khususnya bagi  rakyat  pedesaan.

Umumnya para pemodal tergiur keuntungan besar.  Jauh lebih tinggi dibandingkan jika mendeposito dananya di bank. Katakan saja BRI, (yang dekat dengan masyarakat pedesaan), cuma berkisar 5,7% per tahun. (kontan.co.id, 15/12/2019).

Kadang kala produk yang ditawarkan pengelola dana tersebut bernuansa syariah tanpa riba. Contohnya investasi Kampoeng Kurma.  Di lain sisi, zaman sekarang  semakin banyak warga muslim meragukan kehalalan bunga simpanan dan pinjaman di bank. "Asal judulnya uang berbunga, pasti riba," kata seorang anak muda tetangga saya.

Dahulu banyak ulama berpendapat, bunga bank tidak diklasifikasikan sebagai  riba. Sebab, hasilnya buat kepentingan bersama. Membangun negara dan bangsa, untuk dinikmati oleh seluruh rakyat Idonesia. Seingat saya, begitu pemahaman yang berkembang puluhan tahun yang lalu. Semoga saya tidak keliru.

Demikian kisah-kisah dan pengalaman ini saya bagikan. Semoga bermanfaat. Salam dari Pinggir Danau Kerinci.

****

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun