Kata almarhumah mertua saya, "tani"  plesetan dari kata "tahani".  Hujan atau panas harus "ditahani". Seseorang belum berhak menyandang predikat petani jika dirinya belum  "tahan" terhadap  hujan dan panas.
Dipikir-pikir, ada benarnya juga. Sebab, di mata masyarakat kampung, bertani identik dengan hujan, panas, tanah dan kekumalan. Makanya, amat sedikit  generasi milenial yang mau bertani. Sebagiannya  lebih memilih jadi TKI di luar negeri.
Semasa kecil , saya sering membantu orangtua bekerja di sawah dan ladang. Berangkat pagi pulang petang. Menyeberang sungai, terus berjalan kaki satu jam melewati jalan setapak di tengah hutan dan semak belukar.
Ke ladang digigit pacat, di sawah jadi umpan lintah. Belum lagi nyamuk-nyamuk nakal menghisap darah. Berperang  melawan hama babi hutan, tikus, dan  monyet adalah musibah besar yang harus dihadang.
Kisah di atas menggambarkan derita petani di kampung saya 57 tahun lalu. Masyarakat petani menggarap lahan secara tradisional hanya bermodal tungkai empat kerat. Hasilnya sekadar memenuhi kebutuhan hidup keluarga. Itupun Senin Kamis. Tak jarang juga usaha mereka gagal total.
Seingat saya, zaman itu belum ada campur tangan pemerintah di sektor pertanian. Rakyat bertani hanya mengandalkan pengalaman. Mereka tidak kenal dengan pupuk, tiada tahu apa itu insektisida. Diperparah pula infrastruktur yang belum memadai.
Bagaimanapun pahitnya, sampai sekarang  profesi bertani masih penting dan sangat layak dipertahankan.  Animo masyarakat tetap tinggi untuk menggantungkan nasibnya pada sektor ini. Terutama bagi warga pedesaan. Seorang pria kerabat saya mengaku, "Semua pekerjaan telah saya lakoni. Tetapi tidak seenak jadi petani."
Untuk diketahui, kayu manis adalah tanaman  komuditi  ekspor  unggulan  Kerinci dengan kualitas terbaik.  Lebih dari 85% kayu manis dunia dihasilkan di negeri ini. Wajar, pemerintah RI telah memberikan  sertifikasi atau hak paten terhadap kayu manis Kerinci. (versilama.kerincikab.go.id 19/07/2016).
Waktu lahan itu dibeli, harga jual kayu manis sedang tinggi. Sayangnya, 3 tahun kemudian berangsur turun. Akhirnya jatuh ke titik paling bawah (Rp 3 ribu per kologram di tingkat petani). Jika dihitung-hitung, biaya panennya hampir sama dengan harga jual. Sehingga banyak petani membiarkan tanamannya mati kering di tengah semak belukar.
Efek terluasnya, petani enggan membudidayakan tanaman kayu manis. Sehingga mempengarauhi produksinya masa kini. Padahal, dua tahun terakhir harga jualnya mulai bersahabat (Rp 35-50 ribu per kilo. Tergantung kualitas).