Mohon tunggu...
Nursini Rais
Nursini Rais Mohon Tunggu... Administrasi - Lahir di Pesisir Selatan, Sumatera Barat, tahun 1954.

Nenek 5 cucu, senang dipanggil Nenek. Menulis di usia senja sambil menunggu ajal menjemput.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Khawatir Diperas "WTS", Terbongkar Fakta yang Mengharu Biru

26 Oktober 2018   23:14 Diperbarui: 27 Oktober 2018   08:48 589
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"WTS" adalah singkatan dari Wartawan Tanpa Surat Kabar. Sebuah gelar yang biasa disematkan kepada oknum yang mengaku wartawan. Sementara surat kabarnya tidak jelas. Kerjaannya mengembara dari satu tempat ke tempat lain. Penampilannya keren kayak wartawan benaran. Menyandang  tustel, mengantongi kartu PWI, disertai tanda pengenal anggota LSM.

Sasaran empuknya, instansi pemerintah dan swasta.  Seperti sekolahan, kantor, pemborong proyek dan lain sebagainya.

Semasa saya  menjadi Kepala Sekolah, sosok begini  sering mengganggu kenyamanan.  Setiap berkunjung, dia ngorek-ngorek keuangan sekolah, sampai minta diperlihatkan pembukuan segala. Ujung-ujungnya minta uang rokok. Kepala sekolah yang malas ribut, dikasih. Besok atau lusa jika muncul wajah lain dikasih lagi. Jumlahnya puluhan, bahkan mungkin ratusan.

Awal tahun 2006, salah satu Kepala Sekolah dalam Kecamatan Danau Kerinci nyaris menjadi korban pemerasannya. Dia minta uang jutaan rupiah, dengan alasan yang dicari-cari dan tidak masuk akal.  Saat itu dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) merupakan barang baru.

Petunjuk penggunaannya  masih kabur. Untung calon korbannya  segera memberi tahu Ketua K3S (Kelompok Kerja Kepala Sekolah).  Personel "WTS" itu kena getahnya. Dia dilaporkan ke polisi yang berujung buron, dan tak pernah nongol lagi.

Oknum Wartawan memeras pedagang pasar diciduk polisi. Sumber ilustrasi: megapolitan.antaranews.com
Oknum Wartawan memeras pedagang pasar diciduk polisi. Sumber ilustrasi: megapolitan.antaranews.com
Saya pernah terlibat cekcok dengan wartawan sontoloyo ini. Saat itu mereka  datang berombongan. Kalau tak salah ingat ada delapan orang. Satu darinya menghadap saya, sisanya bertebaran mewancarai guru di kelas. 

Mengawali komunikasi, pria bertubuh gede itu terkesan menakut-nakuti. Intinya  minta diperlihatkan bukti belanja dan pendapatan sekolah. Saya menolak dengan dalih, urusan ini  bukan hak wartawan. Ada petugas dari pihak terkait,.

Dia tersinggung dan marah. Saya juga tak kalah emosi. Sehingga ruangan kantor jadi gaduh. Puas saling bersitegang dia pergi sendiri, tanpa dapat duit, tanpa mengisi buku tamu.

Di lain hari, seorang  "WTS" nyamperin ke rumah. Katanya beberapa kali  dia ke sekolahan, saya tidak berada di tempat. Setahun sebelumnya  saya membangun ruang perpustakaan anggaran dari pusat.  Beberapa menit dia mengulik-ngulik proyek tersebut, endingnya minta uang.

Saya bisiki suami minta pinjam duitnya  50 ribu.

Si kakek masuk kamar. Tak lama berselang  beliau keluar membawa selembar 50 ribuan. "Nih, duit! Sarjana mental pengemis.   Lain kali kamu tak boleh begini lagi. Tamat kuliah harus berpikir kreatif. Cari kerja tidak mengandal jadi PNS. Dagang kek, nguli kek,  ke Malaysia kek. Seribu satu jalan mencari rezeki."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun