Saya gagal paham. "Maaf, dekat rumah siapa, Kek?"
"Rumah lawan, lah. Paling lambat, sebulan kemudian kau tengok reaksinya."
Saya mulai memutar otak. Kapan dan bagaimana caranya mengantar benda magis tersebut ke titik-titik  yang sesuai dengan petunjuk  Kakek Dukun. Ini  musti dikerjakan tengah malam. Tapi bagaimana caranya? Musuh saya itu punya dua ekor anjing galak. Tiada jalan lain, saya harus meracuni anjingnya terlebih dahulu.
Tiba-tiba si tukang  sihir memecah sunyi, "Lima suku," [1] katanya sembari menampung tangan. "Awas jangan sampai terlangkah. Agar kemaqbulannya tidak hilang."
"Iya, Kek." Saya menerimanya dengan santun, lantas  menyerahkan emas sesuai dengan tuntutannya. Terkait masalah mahar yang dia minta, tak ada halangan yang merintangi. Dari dusun saya telah menyiapkan. Sebab, sebelumnya saya telah diberitahukan oleh teman yang pernah menerima layanan di sana.
Ritual selesai, bayarannya lunas. Saya pamit untuk pulang.
Sebagai anak laki-laki yang sudah dewasa, saya merasa berkewajiban melakukan ini. Demi mempertahankan harga diri ayah saya yang terlanjur hancur. Beliau dipenjara gara-gara masalah yang tidak kami pahami. Ayah dijemput paksa tengah malam oleh aparat ketika beliau sedang terlelap tidur. Di hadapan ibu dan kami anak-anaknya tangannya diborgol lalu digelandang seperti mengeluarkan sapi dari kandang. Saya menduga, kejadian ini atas permintaan  Kepala Dusun [2]. Selaku pemegang kuasa dalam negeri, dialah biangnya. Dia pula yang ikut mendampingi petugas menangkap ayah saya pada malam naas itu.
Kejadian tersebut merusak tantanan kehidupan keluarga saya. Sepanjang hari ayah menjadi bahan gunjingan orang sedusun. Label orang penjara pun menempel di jidat beliau. Kami  adik beradik dikucil dalam masyarakat. Bahkan pertunangan saya dengan gadis pujaan saya diputuskan secara sepihak oleh ibu bapaknya. Mereka berdalih, "Buat apa besanan sama orang penjara. Ntar menurun kepada anaknya."
Dan lebih hancur lagi rencana kedua orangtua saya pergi haji gagal total. Uangnya ludes, saya pakai untuk pergi ke dukun dan usaha menyogok orang-orang yang tidak jelas. Tujuannya agar ayah bisa keluar dari penjara tanpa syarat. Makanya untuk menyelesaikan masalah ini saya bertekad akan membunuh  pemimpin keparat tersebut. "Daripada kepalang basah, lebih baik berenang benaran."
Degan membayar penjahat kelas nyamuk, anjing-anjing milik Kepala Dusun mati terkapar dalam hitungan jam. Malam berikutnya saya berhasil mulus menaruh azimat pencabut nyawa tersebut  sesuai petunjuk pakarnya. Saya bangga bercampur lega.
Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Obat terpasang penyakit datang. Semenjak pulang dari petualangan, badan saya meriang, berlanjut demam. Kadang-kadang terasa panas, adakalanya dingin. Sekujur raga seakan remuk.