Mohon tunggu...
Nursini Rais
Nursini Rais Mohon Tunggu... Administrasi - Lahir di Pesisir Selatan, Sumatera Barat, tahun 1954.

Nenek 5 cucu, senang dipanggil Nenek. Menulis di usia senja sambil menunggu ajal menjemput.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Ketika Plagiarisme Menyusupi Lembaga Intelektual, Akan Dibawa ke Mana Nasib Bangsa Ini?

21 Juli 2018   13:13 Diperbarui: 21 Juli 2018   19:31 3489
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Praktik plagiat atau plagiarisme ibarat fenomena gunung es. Runtuh satu timbul seribu. Entah apa yang ada di benak pelakunya, sehingga begitu bernafsu mencuri karangan orang lain dan mengakuinya sebagai hasil kerja sendiri. Tidakkah mereka berpikir, betapa penulis aslinya jungkir balik untuk melahirkan sebuah karya. Sementara sang plagiator seenaknya, tanpa bersusah payah dan mengeluarkan biaya,  tulisannya tuntas dalam waktu sekejap.

Status penulis buku Profil Kawasan Konservasi Enggano yang menjadi korban plagiarisme. (Kiriman Rendra Regen Rais)
Status penulis buku Profil Kawasan Konservasi Enggano yang menjadi korban plagiarisme. (Kiriman Rendra Regen Rais)
Cover buku yang menjadi korban plagiarisme. (kiriman Rendra Regen Rais)
Cover buku yang menjadi korban plagiarisme. (kiriman Rendra Regen Rais)
Masih segar dalam ingatan. Pertengahan tahun lalu (Mei 2017). Seorang siswa SMA bernama Afi Nihaya Faradisa mengguncang dunia maya. Namanya sempat melejit karena beberapa status di akun facebooknya  yang dianggap inspiratif. Rupanya dara manis ini numpang bergoyang di panggung orang.  Tulisan tersebut catutan dari karya facebooker Mita Handayani. Konsekwensinya, gadis yang disapa Afi itu dikecam oleh banyak kalangan. Dihujat habis-habisan melalui media sosial. Walaupun akhirnya yang bersangkutan minta maaf.

Problemnya menguap begitu saja. Beruntung dia mendiami bumi Indonesia. Masyarakatnya maha pelupa  lagi maha pemaaf.  Pelakunya pun manusia setengah awam yang masih hijau,  dan tergolong   di bawah umur.

Jangankan sekelas Afi,  manusia selevel  Rektor saja tidak segan-segan menghalalkan tindakan plagiarisme.  Buntutnya, Rektor sebuah Universitas ternama di ibu kota diberhentikan.  (m.mediaindonesia.com, 06-10-2017).

Ini hanya segelintir dari sekian banyak yang ketahuan. Entah berapa ribu pula yang luput dari pantauan media.

Salah satu foto ilustrasi dalam buku Profil Kawasan Konservasi Enggano (Kiriman Rendra Regen Rais)
Salah satu foto ilustrasi dalam buku Profil Kawasan Konservasi Enggano (Kiriman Rendra Regen Rais)
Awalnya saya cuek-cuek bebek terhadap pemberitaan begini. Tak heran, zaman serba digital. Trendnya serba instan. Bukankah praktik copy paste tumbuh subur sejak dari bangku sekolah menengah. Ketika siswa diminta oleh guru  membuat tugas sekolah, alih-alih menguasai bahan, judul dan covernya saja belum tentu mereka baca. Siswa cukup melapor materi bahasannya ke rental komputer, bayar uang, selesai. Makalah cantik bercover manis, siap meluncur ke pangkuannya.

Apakah guru di sekolah mempermasalahkannya? Allahualam bish shawab. Dari sini sudah terlihat jelas, kejujuran dan moralitas bangsa ini sudah mulai tercabut dari peradabannya.

Halaman web biologi.lipi.go.id yang mencomot sebagian isi dan foto dalam buku Profil Kawasan Konservasi Enggano. (Kiriman Rendra Regen Rais)
Halaman web biologi.lipi.go.id yang mencomot sebagian isi dan foto dalam buku Profil Kawasan Konservasi Enggano. (Kiriman Rendra Regen Rais)
Namun, sejak kemarin  kuping saya memanas, mengetahui putra saya Rendra Regen Rais menjadi korban. Bukunya berjudul "Profil Kawasan Konservasi Enggano" diplagiat. Pelakunya bukan orang sembarangan. Oknum yang bernaung di bawah label lembaga intelektual LIPI.

Menurut dia  (Regen), buku yang ditulisnya pada tahun 2011 tersebut, merupakan hasil ekplorasinya sendiri di Pulau Enggano. Tanpa melibatkan pihak LIPI. Ketika itu kawasan konservasi di pulau Enggano seperti tidak bertuan karena bertahun-tahun tidak pernah ditengok petugas. Jaraknya dari kota Bengkulu 12 jam perjalanan naik kapal.

Dengan inisiatif sendiri dia mendatangi pulau itu dan minta kepada atasannya untuk ditugaskan di sana. Permohonannya dikabulkan. Semenjak itu dia mencari referensi dan mengumpulkan data di lapangan, menggunakan dana pribadi. "Bukan sebulan dua bualan loh. Dua tahun. (2010-2011).  Akhirnya buku tersebut  diterbit dan didanai  oleh Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA)  Bengkulu dan Enggano Conservation," katanya saat di konfirmasi  via WA.

Foto dan teks versi asli (kiri) dan palsu (kanan). (Kiriman Rendra Regen Rais)
Foto dan teks versi asli (kiri) dan palsu (kanan). (Kiriman Rendra Regen Rais)
Karena banyaknya peminat, pada tahun 2018 ini BKSDA Bengkulu berencana akan mencetak ulang dan akan direvisi beberapa konten yg sudah out of date. Di tengah upaya inilah bapak tiga anak ini menemukan tulisan dan gambar-gambar karyanya di muat di situs resmi biologi.lipi.go.id dalam sebuah artikel berjudul "Eksplorasi Pulau Enggano",  diposting tanggal 13 September 2017.  

Teks narasi dan foto ilustrasinya 99% persis asli. Bedanya yang mencolok, pada badan foto telah dibubuhi identitas "Doc. Bidang Zoologi". Tanpa mencantumkan nama penulis dan sumbernya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun