Menangis sekuat-kuatnya, bergulingan di tengah hujan, sampai menarik perhatian anak kapal itu."
Subur merenung, usulan kakek ini patut dipertimbangkan. Namun logikanya membantah, bajuku hanya selembar yang melekat di tubuh saja.
"Saya tak bisa menangis, Gaek. Kecuali kalau dipukul."
"Sini saya pukul. Ha ha ...!"
"Tidak, ah."
Mereka berdua tertawa lagi.
Setelah Maghrib, hujan turun semakin lebat.
"Permisi Pak, ya. Saya mau menutup pintu," kata pemilik warung.
Di tengah rintik-rintik hujan, dua sahabat itu keluar dari kedai, menuju tempat yang mereka rencanakan sebelumnya.
Selama berteduh di emperan gudang garam, cuaca mulai bersahabat. Hujan berangsur meninggalkan bumi. Tak jauh dari posisi mereka saat itu, lampu kapal berkelap-kelip bagaikan bintang dilangit, diiringi musik dan lagu-lagu Minang klasik.
"Nyanyi radionya bagus," kata si kakek di sela gigil menggemertak giginya.