Mohon tunggu...
Nursini Rais
Nursini Rais Mohon Tunggu... Administrasi - Lahir di Pesisir Selatan, Sumatera Barat, tahun 1954.

Nenek 5 cucu, senang dipanggil Nenek. Menulis di usia senja sambil menunggu ajal menjemput.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen ǀ Subur dan Pengemis

11 Juli 2018   22:06 Diperbarui: 13 Juli 2018   00:12 2779
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: The Indian Express

Menangis sekuat-kuatnya,  bergulingan di tengah hujan, sampai menarik perhatian anak kapal itu."

Subur merenung, usulan kakek ini patut dipertimbangkan. Namun logikanya membantah, bajuku hanya selembar yang melekat di tubuh saja.

"Saya tak bisa menangis, Gaek. Kecuali kalau dipukul."

"Sini saya pukul. Ha ha ...!"

"Tidak, ah."

Mereka berdua tertawa lagi.

Setelah Maghrib, hujan turun semakin lebat.

"Permisi Pak, ya. Saya mau menutup pintu," kata pemilik warung.

Di tengah rintik-rintik hujan, dua sahabat itu keluar dari kedai, menuju tempat yang mereka rencanakan sebelumnya.

Selama berteduh di emperan gudang garam, cuaca mulai bersahabat. Hujan berangsur meninggalkan bumi. Tak jauh dari posisi mereka saat itu, lampu kapal berkelap-kelip bagaikan bintang dilangit, diiringi musik dan lagu-lagu Minang klasik.

"Nyanyi radionya bagus," kata si kakek di sela gigil menggemertak giginya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun