Mohon tunggu...
Nursini Rais
Nursini Rais Mohon Tunggu... Administrasi - Lahir di Pesisir Selatan, Sumatera Barat, tahun 1954.

Nenek 5 cucu, senang dipanggil Nenek. Menulis di usia senja sambil menunggu ajal menjemput.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mengenang Kembali Lezatnya Lilin dan Larva Lebah di Inderapura Negeri Tercinta

5 Juni 2018   09:53 Diperbarui: 5 Juni 2018   10:33 1132
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Lebah nempel di pohon. Sumber ilustrasi: lintasgayo.co

Suatu hari saya kena getahnya. Lilinnya baru  sekali kunyah, tiba-tiba rongga mulut saya bagian atas serasa ditusuk ranjau, mendenyut sampai ke pusat syaraf. Dibarengi rasa sakit  sampai ke kepala. Beberapa menit kemudian telinga dan muka saya merah. Sampai di rumah,  wajah sembab, mata menyipit disertai tubuh meriang. Kondisi ini berlangsung selama tiga hari tiga malam.

Rupanya, dalam gumpalan lilin di mulut saya saat itu terdapat sengatan lebah. Yaitu semacam jarum halus  yang masih beracun, meskipun telah terpisah dari raganya. Dalam kondisi hidup, posisinya pada ujung buntut lebah.

Selain lilin, tak kalah lezatnya adalah anak solang. Jika dibahasaIndonesiakan berarti calon anak/telur lebah. Atau yang lebih dikenal dengan Larva (yang masih muda). Tetapi jarang ketemu. Paling nyangkut satu atau dua biji dalam limbah lilin kualitas jelek alias tak layak dikonsumsi. Kami dapat mencicipi jika dikasih tuan rumah setelah menjadi palai (pepes).

Larva di dalam sarang. Sumber ilustrasi: metroterkini.com
Larva di dalam sarang. Sumber ilustrasi: metroterkini.com
Cara mengolahnya,  bungkus larva muda yang masih meringkuk di dalam lempengan sarangnya dengan daun pisang. Tarok di atas tungku api sedang yang sebelumnya dialasi seng bekas. Persis kayak membakar pepes ikan. Setelah matang, meteri tersebut terpisah antara satu dengan lainnya. Sirami sedikit madu lalu disantap.

Pernah juga ngiler berat. Ketika tiba di rumah Mak Rama, perempuan setengah baya itu sedang memasak wajik. Tentu  kita semua kenal penganan yang bernama wajik. Barangkali di setiap daerah namanya berbeda.

Biasanya kue tersebut terbuat dari beras ketan kukus, ditambah santan bercampur gula yang sudah dipanaskan sampai kental. Mak Rama menggantikan ketan kukusnya dengan larva. Madu sebagai pemanisnya. Judulnya, wajik anak solang.

Puas mengunyah lilin, ditunggu-tunggu tiada tanda-tanda akan dapat jatah. Akhirnya kami pulang dengan air liur meleleh. Sampai saat ini saya belum pernah mengecap bagaimana rasanya wajik anak solang tersebut.

Tiga puluh tujuh tahun terakhir, pohon sarang lebah mulai langka. Seiring berubahnya wajah perhutanan menjadi kebun kelapa sawit. Ikon Inderapura sebagai penghasil lebah madu kualitas terbaik, kini telah redup. Syukur-syukur beralih julukan menjadi negeri produsen sawit. Sayang, sawitnya milik peusahaan besar, bukan punya rakyat jelata.

Sampai artikel ini ditulis, di kampung saya belum ditemui lebah ternak yang hidup berdampingan dengan manusia seperti di Sulawesi, Jawa, Madura, dan daerah lain di Indonesia. 

Demikian sekilas pengalaman masa kecil saat berdekatan dengan pemilik pohon lebah. Betul kata orang tua-tua, berteman dengan penjual parfum, ketularan wanginya. Bertetangga dengan pemilik lebah, ketularan pula manis madunya. Semoga inspiratif.

 ***                                                                                                               

Simpang Empat, 05062018

Penulis,

Hj. Nursini Rais.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun