Mohon tunggu...
Nursalam AR
Nursalam AR Mohon Tunggu... Penerjemah - Konsultan Partikelir

Penerjemah dan konsultan bahasa. Pendiri Komunitas Penerjemah Hukum Indonesia (KOPHI) dan grup FB Terjemahan Hukum (Legal Translation). Penulis buku "Kamus High Quality Jomblo" dan kumpulan cerpen "Dongeng Kampung Kecil". Instagram: @bungsalamofficial. Blog: nursalam.wordpress.com.

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

Catatan IIBF 2014: Andai Pak Menteri Hadir...

7 November 2014   00:17 Diperbarui: 17 Juni 2015   18:26 223
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_372651" align="aligncenter" width="600" caption="Kompasiana Nangkring IIBF/Kompasiana - Wawa"][/caption]

Andai Pak Menteri hadir…

Itulah yang terbersit di benak saya saat hadir sebagai partisipan Kompasiana Nangkring di arena Indonesia International Book Fair (IIBF) 2014 pada 1 November 2014.

1415268691799998867
1415268691799998867

Diskusi buku bertajuk Print Books vs Digital Books dalam acara Kompasiana Nangkring di hari pertama Indonesia International Book Fair (IIBF) 2014 tersebut menghadirkan para pembicara yang kompeten dalam bidang media dan perbukuan yakni Pepih Nugraha (jurnalis senior Kompas dan pendiri Kompasiana), Putut Widjanarko (Vice President Operation Mizan Publika) dan Erick Young (CEO Random House Korea) dipandu moderator Wardah Fajri (Wawa) dari Kompas.com yang menggantikan Iskandar Zulkarnaen (Kompasiana).

Kendati ngaret sekitar 1 jam dari jadwal semula, yang semula dijadwalkan dimulai pada pukul 14 WIB, diskusi berlangsung lancar dan cukup menarik terutama dengan paparan presentasi dari Erick Young (yang saking panasnya Istora hingga terpaksa melepas jasnya dan tinggal mengenakan kemeja yang bersimbah keringat!) yang mengemukakan data-data betapa pesatnya perkembangan digital book atau buku digital (e-book) di berbagai negara maju seperti Amerika Serikat, Inggris dan Korea Selatan yang mencapai 30-40% dari total produk buku cetak dan buku digital yang beredar. Salah satunya ditopang kuatnya infrastruktur jaringan Internet di negara-negara tersebut.

Erick mencontohkan di negaranya, Korea Selatan, populasi pengguna smartphone atau ponsel pintar sudah mencapai 90% dari total penduduk negara semenanjung tersebut. Populasi pengguna yang besar ditunjang dengan jaringan Internet yang sudah 5G yang, menurut Erick, 10 ribu kali lebih cepat daripada 3G yang saat ini masih digunakan Indonesia. Alhasil, kombinasi dahsyat tersebut membuat cerahnya bisnis buku digital terutama di Korea Selatan yang konon disebut-sebut sebagai negara yang jaringan Internetnya tercepat di dunia.

Jadi, hemat saya, sungguh amat menggelikan jika kita pernah punya Menkominfo yang sampai berucap di media sosial,”Internet cepat buat apa?”

Namun, terlepas dari sikap pemerintah masa lalu yang apatis, kita punya para pejuang media dan perbukuan yang gigih. Dengan keapatisan pemerintah, infrastruktur telematika yang terbatas serta rendahnya kepemilikan kartu kredit yang hanya berkisar 10% populasi penduduk dan penetrasi kepemilikan smartphone yang tak sebesar negara-negara maju, para penerbit di Indonesia – menurut pengakuan Putut Widjanarko – berupaya merengkuh pasar buku digital, yang dimulai dengan audio book pada 1991, antara lain melalui Scoop, Qbaca, Indobaca dan Wayang Force.

Sistem pembayaran pun disiasati dengan cara tunai yang masih diakrabi sebagian besar masyarakat tunai kendati tak lazim dalam praktik sistem penjualan buku digital di negara maju yang pada umumnya menggunakan kartu kredit.

Sebagai praktisi perbukuan, Putut Widjanarko yakin bahwa seiring membesarnya populasi angkatan muda Indonesia (berkah bonus demografi) yang lebih akrab dengan budaya layar (screen culture) maka pangsa pasar buku digital akan kian membesar.

”Bayangkan saja generasi ABG sekarang yang bangun tidur pagi-pagi buka ponsel layar sentuh, nonton video di Youtube via tablet dll. Merekalah bakal pangsa yang besar di masa mendatang,” demikian ilustrasi dari Putut yang juga produser film Laskar Pelangi dan Emak Ingin Naik Haji.

Dengan kata lain, merekalah yang akan menjadi konsumen terbesar ”bom waktu e-book”, demikian diistilahkan Pepih Nugraha, sang bapak Kompasiana, yang tampil sebagai pembicara terakhir.

Pepih Nugraha juga menyebut beberapa nama angkatan muda, seperti Nurhasanah (salah satu admin Kompasiana) yang menjual novelnya di Scoop dan juga seorang Kompasioner bernama Ali Label yang kekeuh menjual novelnya dalam bentuk buku digital. Ali Label sendiri turut hadir dalam acara diskusi tersebut, dan berdiri sambil tersenyum lebar saat Pepih menyebut namanya dan memintanya berdiri di tengah para Kompasioner yang hadir.

Senada dengan para pembicara sebelumnya, Pepih Nugraha – yang mengaku tengah menulis novel – juga yakin bahwa pasar buku digital di Indonesia akan cerah. Ia menafsirkan maksud kedatangan Mark Zuckerberg yang tempo hari blusukan bersama Presiden Jokowi sebagai perluasan rencana bisnis global Facebook yang dalam kerangka semesta akan menjadikan terkoneksinya 1,3 miliar penduduk bumi satu dengan yang lain tanpa batas apa pun melalui Internet dengan koneksi Internet tanpa Wi-fi. Apapun niat bisnis yang hendak dicapai, menurut Kang Pepih, pada gilirannya akan membawa berkah tersendiri bagi perkembangan kesejahteraan negara dan masyarakat Indonesia.

Buka Buku Buka Mata

Apa pun kelak perkembangan nanti, toh, kabar gembira dari acara diskusi Kompasiana Nangkring, bagi saya sebagai penyuka buku, itu sungguh suatu angin surga.

“You cannot open a book without learning something.” (Confucius)

Pepatah klasik mengatakan buku adalah jendela ilmu, juga jendela dunia. Perkataan Konfisius, seorang filsufmasyhur Tiongkok, tersebut di atas mengokohkan hal tersebut. Kita tidak dapat membuka suatu buku tanpa mempelajari sesuatu. Ada saja ilmu yang kita dapat setiap kali membuka dan membaca buku. Tak heran ‘Aid Al Qarni, penulis buku La Tahzan, mengatakan bahwa buku adalah teman duduk yang paling setia.

Bagi saya, yang mengalami betul saat masa kecil yang tak bahagia dan hanya berteman dengan buku, ucapan Konfusius dan Al Qarni adalah benar adanya.

Saat menginjak kelas 2 SD, saya sakit parah yang mengharuskan beristirahat di rumah hingga setahun lamanya. Dokter mendiagnosis saya mengidap penyakit kencing batu atau penyumbatan kandung kemih. Sambil menunggu biaya operasi terkumpul – maklum keluarga saya bukan keluarga mampu – dan berikhtiar dengan pengobatan alternatif, saya mengisi masa penantian di rumah seraya melahap banyak buku. Beruntung saat itu kakak saya yang kuliah di Universitas Indonesia (UI) adalah penyuka buku, yang kerap membawakan saya buku-buku bagus baik buku anak-anak atau buku bacaan umum.

Beruntung juga saat itu, era medio 80-an, tayangan TV belum seganas sekarang. Hanya ada TVRI yang memulai siaran pada sore hari. Alhasil, akrablah saya dengan buku-buku dongeng dunia dari Grimms atau Hans Christian Andersen, buku-buku karya Enid Blyton seperti Lima Sekawan, Sapta Siaga, Si Badung atau Pasukan Mau Tahu juga karya-karya penulis lokal seperti Bung Smas dengan Pulung dan Noni, dan Dwianto Setyawan dengan Sersan Grung-Grung.

Bagi saya saat itu yang tak dapat banyak beraktivitas di luar rumah dikarenakan penyakit saya, buku adalah mata yang membuat saya dapat melihat dunia lain selain ruang tidur dan rumah saya.

Seiring perjalanan waktu, beragam buku mengisi otak saya mulai dari buku-buku Hassan Al Banna, Sayyid Quthb, Anis Matta, Adian Husaini, Napoleon Hill, Ernest Hemmingway, Kuntowijoyo, Agatha Christie, Mira W, Helvy Tiana Rosa, Richard Kyosaki, Thomas Paine, Tan Malaka hingga karya-karya Haidar Baghir, Jalaludin Rahmat, Emha Ainun Nadjib, Aburrahman Wahid dan Nurcholish Madjid. Beragam warna pemikiran yang mempengaruhi dinamika wawasan dan kedewasaan saya sesuai proses tingkatan usia dan variasi pengalaman hidup.

Dan, kisah panjang pergelutan dengan buku tersebut menjadikan arena pameran buku bagai tampak air menyejukkan bagi ikan seperti saya, tak terkecuali IIBF 2014.

Sebagai penutup, mari saya kisahkan kesan manis di IIBF 2014.

Berkah Rupawan

Guest of Honor (tamu kehormatan) dalam Indonesia International Book Fair 2014 (1- 9 November) adalah Arab Saudi. Tak heran, pada hari pertama pameran, saat masuk area pameran di Istora (Istana Olahraga) Senayan suasana khas Arab Saudi menyergap kuat. Tenda khas padang pasir, ornamen Timur Tengah, lantunan nasyid, kurma gratis dll. Tak ketinggalan para petugas stan Arab Saudi yang tampil bersurban dan berjubah a la sheikh dengan tampang yang tak kalah menawan dibandingkan para peragawan atau bintang sinetron Mahabharata. Banyak perempuan muda, termasuk yang berjilbab, antre minta foto bareng.

Seandainya stan Korea Selatan yang letaknya di dekat panggung utama di bagian dalam Istora juga menyajikan para petugas stan bertampang personel K-Pop selain deretan buku antologi sastra kerja sama para pengarang Korea dan pengarang Indonesia, barangkali kehebohannya takkan kalah. Tampang rupawan memang pembawa berkah.

Bagi saya, cukuplah menikmati logat Melayu kental mendayu dari cik manis nan ramping bertudung di stan Institut Terjemahan & Buku Malaysia (ITBM) saat membeli buku dongeng Hang Tuah berbahasa Inggris dengan bonus komik Upin Ipin (bahasa Melayu) yang menurutnya “percuma”.

“Oh, maaf, percuma itu di sini sia-sia ya?” sejenak ia tersadar. ”Gratis,” ralatnya tersipu malu.

Saya tersenyum seraya menerima uang kembalian, berterima kasih dan lantas berlalu. Terlalu panjang rasanya untuk menjelaskan kepadanya bahwa percuma dalam khazanah bahasa Indonesia juga punya pengertian yang sama kendati kini hanya tersua di karya-karya lawas semisal syair lagu anak-anak legendaris Naik Kereta Api.

Jakarta, 6 November 2014

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun