Mohon tunggu...
Nursalam AR
Nursalam AR Mohon Tunggu... Penerjemah - Konsultan Partikelir

Penerjemah dan konsultan bahasa. Pendiri Komunitas Penerjemah Hukum Indonesia (KOPHI) dan grup FB Terjemahan Hukum (Legal Translation). Penulis buku "Kamus High Quality Jomblo" dan kumpulan cerpen "Dongeng Kampung Kecil". Instagram: @bungsalamofficial. Blog: nursalam.wordpress.com.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Jas Merah PKI

29 September 2020   21:26 Diperbarui: 29 September 2020   21:31 735
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dipa Nusantara (DN) Aidit, Ketua Umum PKI, saat kampanye PKI (1955)/Foto: historia.id

Topik rutin tiap September: pemberontakan kaum Komunis.

Wajar memang karena pemberontakan PKI Musso di Madiun (Madiun Affairs) terjadi pada September 1948 dan Gestapu PKI Aidit terjadi pada September 1965. Toh, Jerman pun setiap tahun memperingati kekejaman NAZI Hitler.

Sejarah itu bukan hanya untuk dipelajari, tapi juga dikenang dan diambil hikmahnya untuk tindakan ke depan. Tidak pula untuk dihapuskan agar anak cucu lupa sejarah bangsanya sendiri.

Setidaknya jika, saat ini dan pada waktu yang akan datang, ada kalangan yang gencar mewacanakan bahwa kalangan komunis tidak bersalah dan bangsa ini harus minta maaf sebagai syarat rekonsiliasi nasional, kita bisa bilang, "PKI mungkin tidak sebejat yang digambarkan Orba, namun mengatakan PKI suci tanpa dosa jelas sebuah ketololan."

Soeharto mungkin tercela, dengan seberapa pun derajatnya, dengan, jika benar, merekayasa insiden Gestapu (Gerakan September Tiga Puluh) atau G30S (Gerakan 30 September) menurut versi Orba, atau Gestok (Gerakan Satu Oktober) versi Orba, sebagaimana tuduhan yang beredar menurut para cendekia Barat, namun toh Partai Komunis Indonesia (PKI) juga bukanlah bayi suci tanpa dosa.

Jejak darah dan kekerasan PKI sejak 1948 dan 1965 bukanlah hal sepele yang bisa dikesampingkan begitu saja. Ada banyak saksi hidup dan keluarga korban pembantaiannya yang bersuara, maupun memilih atau terpaksa diam membisu seumur hidupnya karena trauma yang dideritanya.

Dan penggulungan PKI pasca-Gestapu 1965 bukanlah asap tanpa api. Itulah konsekuensi dan risiko. Hal itu merupakan respons alamiah, yakni self-defense mechanism (mekanisme perlindungan diri), ketika seseorang atau sekelompok orang, yang tersakiti merasa terancam dan memperoleh peluang untuk pembalasan dendam. Dalam bahasa sederhana, "lu jual, gue beli".

Apa yang PKI dan antek-anteknya lakukan pra-Gestapu 1965, terutama di Madiun 1948 dengan membantai warga sipil, mayoritas kaum Muslim dan ulama, adalah pemantik api besar yang membakar mereka sendiri. Siapa yang menabur angin, ia akan menuai badai.

Dan siapa bilang PKI hanya menyasar dan hanya menjadi musuh umat Islam yang merupakan umat mayoritas di negeri ini?

Bukankah Jenderal Donald Ignatius Panjaitan dan Letnan Pierre Tendean, sekadar menyebut beberapa, adalah para tentara non-Muslim yang juga turut dibunuh?

Alhasil, apa pun warna yang ingin ditorehkan dalam dinding sejarah negeri ini, sejatinya tidaklah suatu warna yang utuh sepenuhnya. Ada merah darah, dan juga abu-abu serta kelabu.

Apa pun itu, jangan pernah gamang atau galau memegang keyakinan sebagai anak bangsa yang nasionalis berpancasila.

Karena peristiwa Madiun Affairs 1948 dan Gestapu 1965 yang merongrong negara Pancasila ini tak mustahil akan berulang dalam waktu dekat atau dalam kurun waktu mendatang, jika kita abai dan meremehkan setiap gejala atau potensi yang mungkin ada.

Jas merah, teriak Bung Karno, "jangan sekali-kali melupakan sejarah".

Kendati sayangnya sang pengucap justru terhempas karena ucapannya sendiri yang abai bahwa 17 tahun sebelum 1965 kawan PKI telah berkhianat di Madiun. Semata-mata karena kegandrungan sang Bung Besar akan "persatuan" seluruh unsur bangsa, yang dipaksakannya menyatu dan menjadi persatuan semu yang dimanipulasi dan dieksploitasi golongan tertentu.

Soekarno yang nahas. Namun revolusi memang kerap memakan anak kandungnya sendiri, tanpa kecuali, dan dengan ganas.

Bukankah sejarah itu berulang? Hanya keledai yang terperosok ke lubang yang sama untuk kedua kalinya.

Catatan sejarah 1948 dan 1965 sudah menunjukkan kitalah bangsa keledai malang itu. Jangan sampai kita lebih keledai daripada keledai. Dan lebih malang daripada si tokoh dongeng Lebai Malang.

Jakarta, 29 September 2020

Baca Juga: Apa Warna September yang Kau Mau, Kawan?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun