Mohon tunggu...
Nursalam AR
Nursalam AR Mohon Tunggu... Penerjemah - Konsultan Partikelir

Penerjemah dan konsultan bahasa. Pendiri Komunitas Penerjemah Hukum Indonesia (KOPHI) dan grup FB Terjemahan Hukum (Legal Translation). Penulis buku "Kamus High Quality Jomblo" dan kumpulan cerpen "Dongeng Kampung Kecil". Instagram: @bungsalamofficial. Blog: nursalam.wordpress.com.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Melarang Anjay Sama Saja Menembak Nyamuk dengan Meriam

3 September 2020   23:32 Diperbarui: 3 September 2020   23:41 233
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ariest Merdeka Sirait dan Lutfi Agizal/Foto: pikiran-rakyat.com

Hiruk pikuk seputar kata "anjay" berawal dari pengaduan Youtuber Lutfi Agizal (yang juga kekasih puteri pedangdut Iis Dahlia) kepada KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia) dan Komnas PA (Komisi Nasional Perlindungan Anak) tentang kata "anjay" yang dianggap dapat merusak moral bangsa terutama moral anak-anak. Disinyalir pengaduan tersebut mengarah pada kebiasaan Rizky Billar, seorang selebritas muda yang tengah naik daun karena kisah putus cintanya yang melodramatis, yang dianggap kerap mengumbar kata "anjay" di media sosial.

Di saat Retno Listiyarti (sebelumnya dikenal sebagai guru dan aktivis advokasi pendidikan) dkk dari KPAI yang notabene sebuah lembaga resmi negara lebih memilih menunggu hasil kajian sebelum merespons pengaduan tersebut, Ariest Merdeka Sirait, ketua Komnas PA yang merupakan sebuah lembaga swadaya masyarakat (LSM) independen, trengginas merespons pengaduan tersebut dengan mengeluarkan surat edaran, yang kemudian viral, yang pada intinya berupa imbauan pelarangan kata "anjay".

Lebih lanjut lagi, Ariest menandaskan bahwa penggunaan kata "anjay" yang bertendensi penghinaan dan perendahan martabat berpotensi pemidanaan dengan ancaman hukuman lima tahun penjara berdasarkan Pasal 81 UU RI No. 35 Tahun 2014 tentang perlindungan anak.

Sebagai alternatif, Ariest menganjurkan, jika "anjay" dimaksudkan sebagai bentuk apresiasi atau pujian, menggunakan kata pengganti yang lebih positif seperti "keren" atau "salut".

Terlepas dari apa pun motif pengaduan Lutfi Agizal, yang kabarnya juga berkawan dengan Rizky Billar, apakah karena kecemburuan karier atau panjat sosial (pansos) yang didengungkan di media sosial, di satu sisi, kita patut mengapresiasinya karena, sedikit banyaknya, telah membuka ruang diskusi publik yang menarik perihal penggunaan dan dampak suatu kata terhadap kehidupan masyarakat.

Secara tidak langsung, publik tersadarkan dan tercerdaskan lewat perdebatan argumentatif yang ada di media termasuk berbagai platform media sosial. Kendati disayangkan tensinya belakangan lebih meruncing pada perkubuan pro-kontra seputar kata "anjay".

Di sisi lain, kita juga layak angkat jempol pada Komnas PA yang sigap merespons pengaduan Lutfi yang mungkin terkesan receh atau trivial bagi sebagian kalangan.

Sayangnya, dalam hal ini, Komnas PA kelewat terfokus pada kontroversi kata "anjay" yang diadukan Lutfi alih-alih mencoba melebarkan perspektif lebih luas dalam memandang masalah ini secara lebih komprehensif.

Jika seorang milenial, dengan kemudaan dan kesederhanaan wawasannya, seperti Lutfi Agizal sekadar melaporkan kata "anjay" yang menurutnya mendegradasi moral bangsa, hal itu dapat dimaklumi. Yang sulit dimengerti mengapa seorang Ariest Merdeka Sirait, sang aktivis advokasi hak anak kawakan, yang kenyang pengalaman hidup dan lebih luas wawasannya, sekadar menuruti langgam aduan tersebut?

Dan, naifnya, solusi yang ditawarkan Komnas PA pun terkesan trivial bahkan terkesan menggelikan, yakni mengimbau pelarangan kata "anjay" hanya agar anak-anak, sebagaimana dikhawatirkan Lutfi, tidak latah ber-anjay anjay ria. Konyolnya, ditambahi pula dengan ancaman kriminalisasi untuk kata "anjay".

Okelah, jika "anjay" dilarang, apakah lantas bocah ingusan dan remaja tanggung akan setop memaki atau merisak (bully) dengan menggunakan kata-kata jorok dan keji?

Rasanya tidak. Ada banyak kosakata makian atau umpatan dalam bahasa Indonesia yang bisa digunakan. Sebut saja pukimai, ngewe, kunyuk, atau bahkan fuck dan fucking, jika ingin versi impor.

Alhasil, jika "anjay" itu nyamuk, maka melarang kata itu sama saja menembak nyamuk dengan meriam atau bazoka. Lewah dan lebay, mubazir dan berlebihan.

Dan jika "anjay" itu nyamuk, maka keringkanlah rawanya yang menjadi sumber berkembang biaknya sang hewan pengganggu tersebut. Dan "rawa" yang perlu dikeringkan oleh Komnas PA, dan juga para aktivis advokasi hak anak, adalah antara lain tontonan dan tayangan TV dan media yang tidak ramah anak, yang mengusung kekerasan dan pornografi, misalnya.

Memperjuangkan regulasi pengawasan media agar memproduksi tayangan yang lebih ramah anak dan lebih mengedukasi anak, itulah salah satu cara mengeringkan "rawa hitam berbau busuk" tersebut. Itulah salah satu dari sekian banyak hal yang lebih maslahat dan lebih urgen dampaknya untuk diperhatikan dan diperjuangkan, alih-alih sekadar melarang kata "anjay" yang memang sensasional namun minim dampak perbaikannya.

Jakarta, 3 September 2020

Rujukan:

  1. tirto.id
  2. detik.com

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun