Ini salah satu kisah dari buku harianku yang teronggok sekian lama.
Ahad, 19 Oktober 2008 kala itu adalah Ahad jingga. Ada warna merah muda menyemburat di langit Jakarta.
Ya, mungkin juga karena hari itu adalah hari pernikahan salah satu sahabat Sekolah Kehidupan, yang karib disebut Eska, sebuah komunitas penulis yang aku ikuti.
Ada warna merah juga menyeruak akibat panasnya matahari Jakarta di musim pancaroba yang disinyalir berkisar 36 derajat celcius.Â
Juga ada warna putih. Pucatnya wajahku selepas begadang mengejar tenggat terjemahan yang bertubi-tubi di akhir tahun itu. Yah, itulah ikhtiar seorang calon ayah untuk songsong jabang bayi pertamanya kala itu. Takdir dan sejarah mencatat anak pertamaku lahir pada November 2008.
Lelah memang. Namun memenuhi undangan pernikahan adalah wajib. Kendati saat itu cuaca panas menyengat. Terlebih setelah aku dan istriku keluar dari KRL Ekonomi AC di Stasiun Tebet, Jakarta Selatan, menuju lokasi pernikahan di wilayah Jakarta Timur. Saat itu masih ada jenis kereta itu dengan tiket yang harganya lebih mahal daripada KRL ekonomi biasa yang tidak ber-AC.
Â
Perbedaan suhu yang ekstrem membuat badanku serasa meringsang, tak enak badan. Tapi, sekali lagi, memenuhi undangan pernikahan adalah kewajiban. Lebih-lebih sang sahibul hajat mengundang secara pribadi, via sms beberapa bulan sebelumnya.Â
Bagiku pribadi, undangan yang personal sifatnya ini semakin "membebani", dalam artian kudu dihadiri. Berbeda halnya jika sang empu hajat jarang bergaul sebelumnya, dan undangan pun dilayangkan secara sapu-jagat alias terbuka, entah di milis (yang saat itu masih tren) atau media lainnya. Sah-sah saja memang. Namun, sekali lagi bagiku, itu rasanya sangat berbeda. Entah bagi Anda.
Pelajaran Pertama: Sering-seringlah bergaul dalam sebuah komunitas. Â
Terlebih jika Anda bakal punya hajat semisal pernikahan atau khitanan. Ingat! Pepatah klasik masih berlaku sampai kini: tak kenal maka tak sayang. Tak kenal terus ujug-ujug ngundang? Jangan harap tamu akan datang!